Mitra Dialog
Waktu bergerak. Dengan A. Hassan, Natsir sering berdialog dan berdiskusi. Sementara, di sekolahnya, Natsir diajari dan kemudian terbiasa berpikir secara mendalam. Ini, terutama yang berkenaan dengan pelajaran sejarah dan kajian filsafat. Di bagian ini, sering membuat Natsir dihinggapi semacam keragu-raguan dalam menerima pelajaran.
Untuk yang disebut pada kalimat terakhir di atas, kemudian Natsir mendiskusikannya dengan sang guru – A. Hassan. Atas sikap Natsir yang peduli kepada ilmu ini, lalu A. Hassan menjadi lebih memperhatikan Natsir secara khusus.
Ternyata apa yang Natsir anggap baru dan mendatangkan keragu-raguan itu, bagi A. Hassan justru biasa-biasa saja. Sang guru bisa memahami pemikiran filsuf Barat.
Natsir berkesimpulan, betapa luas pengetahuan A. Hassan. Selanjutnya, Natsir punya beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas dari A. Hassan dalam mendidik dan mengkader murid.
Ini kisah guru menyediakan fasilitas yang diperlukan muridnya. Bahwa, Natsir belajar kepada A. Hassan tentang agama dan bahasa Arab. Adapun dasar-dasarnya sudah Natsir dapatkan saat dia belajar di Sekolah Diniyah, dulu di Sumatera.
Natsir belajar dengan berkunjung di rumah A. Hassan di Bandung. Saat Natsir datang ke A. Hassan, hampir selalu dijumpainya sang guru sedang asyik menulis. Biasanya, menulis Tafsir Al-Qur’an.
Saat Natsir datang dan melihat A. Hassan dalam posisi sedang tekun menulis, maka dia membalikkan badan akan keluar. A. Hassan yang kemudian melihat Natsir, berseru memanggil sang murid. Dimintanya Natsir untuk tidak pulang. Maka, duduklah Natsir. Lalu, mulailah diskusi bahkan debat antara murid dan guru. Hal yang seperti ini sering terjadi, habis ashar sampai maghrib.
Apa makna debat di kisah ini? Memang, benar-benar berdebat! Terkadang, Natsir membawa permasalahan, lalu keduanya mengkaji. Terkadang pula, A. Hassan yang melontarkan masalah kepada Natsir.
Jika Natsir tidak dapat memecahkan masalah yang diajukan A. Hassan, maka sang guru meminjaminya sejumlah buku untuk dipelajari. Lalu, topik itu dibahas lagi pada pertemuan berikutnya. Natsir harus dapat menguraikan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Demikianlah seterusnya, cara A. Hassan mengajar.
Cara A. Hassan Mendidik
Selanjutnya, ini kisah guru memberi peran dan tangggung jawab. Saat Natsir duduk di kelas III SMA, A. Hassan meminta Natsir memimpin sebuah majalah, Pembela Islam. Atas tugas itu, hubungan Natsir dengan A. Hassan semakin dekat.
Tampak, pada mulanya Natsir tidak belajar agama secara formal. Tapi, Natsir belajar dengan cara berhubungan langsung dengan seorang ulama besar. Natsir, pada perkembangannya, sangat terkesan dengan cara sang guru dalam mendorong muridnya untuk maju.
Dalam catatan Natsir, A. Hassan tak pernah memaksakan suatu pola tertentu kepadanya. Sang guru selalu mendiskusikan bersama atas masalah yang diangkat. Dia dorong Natsir untuk selalu berpikir.
Berikut ini, pengalaman Natsir yang lain tentang cara A. Hassan mendidik muridnya agar senantiasa berpikir. Pernah di suatu ketika, di sekolah Natsir ada tamu, seorang penceramah atau lebih tepat penginjil. Nama dia, Christoffer.
Si penginjil berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. Pada mulanya, dia memuji berbagai kelebihan Muhammad Saw. Namun ujung dari keseluruhan uraian dia, yang benar hanyalah Jesus Kristus.
Apa yang terjadi itu oleh Natsir kemudian diceritakan kepada A. Hassan. Sang guru menganjurkan Natsir agar menanggapi ceramah tersebut. Untuk itu A. Hassan memberi Natsir berbagai bahan bacaan. Atas dorongan itu, Natsir lalu menulis brosur kecil. Judulnya, “Muhammad als Profeet”.
Berikut ini model pembelajaran yang lain. Kala itu ada perdebatan tentang nasionalisme antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis – PNI. Soekarno pada waktu itu menjadi juru bicara PNI.
Natsir, sebagai Muslim, merasa terpukul dengan pandangan Soekarno yang meremehkan Islam. Bagi Soekarno Islam menjadi budaya kelas dua saja, menjadi subkultur. Menghadapi masalah ini, Natsir kembali didorong A. Hassan untuk menanggapinya.
Terasa, A. Hassan selalu menanamkan kebiasaan untuk sepenuhnya percaya diri. Dia latih murid yang dididiknya agar jangan takut salah. Jika nanti ternyata salah, perbaiki lagi.
Hassan, yang wafat pada 10 November 1958, dalam mendidik punya tamsil menarik. Bahwa, “Anak itu kalau digendong terus tak akan pandai berjalan”.
Baca sambungan di halaman 3: Agus Salim sang Pendidik