Fikih Syawalan: Silaturahmi atau Silaturahim, Halalbihalal atau Istihlal? Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Mengawali pemaparannya tentang Fikih Syawalan di Silaturahmi Syawalan PDA ke Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) GKB Gresik, Ain Nurwindasari MIRKH menerangkan makna Syawal. “Syawal secara bahasa Arab artinya peningkatan,” ujarnya.
Dia menerangkan, “Yaitu kian memperbaiki kualitas ketakwaan dan kehidupan seorang Muslim setelah beribadah puasa satu bulan lamanya serta berzakat fitrah.”
Di bulan Ramadhan, sambungnya, amal ibadah sudah banyak. Tak ada puasa di bulan lain yang bisa menandingi puasa Ramadhan sebulan penuh. Lantas bagaimana meningkatkan ibadah di bulan selanjutnya usai Ramadhan?
Menurutnya, jika secara kuantitas tidak dapat beribadah sebagaimana bulan Ramadhan, maka yang perlu ditingkatkan adalah kualitas ibadah. Seperti ketika Ramadhan manusia mengerjakan shalat Tarawih dalam banyak rakaat, maka usai Ramadhan bisa mengerjakan shalat Tahajud dengan kualitas yang lebih khusyuk.
Halalbihalal
Kemudian, Ain menerangkan istilah khas Syawalan Halalbihalal yang muncul sebagai budaya di Indonesia. “Idul Fitri di luar negeri itu nggak ada open house. Karena ramah-tamahnya orang Indonesia aja yang ketika Idul Fitri open house. Tidak hanya tetangga dekat, tetangga jauh, kenal atau tidak, bilang minta maaf, minta angpau,” imbuh alumnus International Islamic University of Malaysia (IIUM)
Dia menegaskan, itu sebuah budaya yang makruf (baik), tidak bertentangan dengan spirit Islam. Sebab, bisa saling memberi dan meminta maaf. “Tidak masalah jika kita amalkan,” ungkapnya.
Dia menyatakan, istilah halalbihalal di dalam Islam memang tidak ada, adanya silaturahmi. Itu bahasa Arab yang diakomodasi dan diterima bahasa Indonesia. Pun tidak ada dalam al-Quran dan hadits. “Memang tidak ada dituntunan setelah Idul Fitri hendaknya saling bermaaf-maafan, berkunjung ke rumah saudara,” ujarnya.
Halalbihalal memiliki makna peleburan, penyatuan, dan saling bermaaf-maafan. Misal, dulu kamu pernah menyakiti saya, sudah saya buka hati saya dan maafkan.
Ain kemudian menerangkan, istihlal (meminta kehalalan) dilakukan ketika kita melakukan kezaliman. Sehingga cara bertaubatnya dengan meminta maaf dan mengembalikan hak orang yang kita zalimi.
Misal, pencuri tidak hanya meminta maaf tapi seharusnya juga mengembalikan apa yang dia curi. Demikian pula koruptor, tidak cukup konferensi pers meminta maaf saja, tapi juga harus mengembalikan.
“Ternyata di Muhammadiyah sendiri mengambil isbat, sudah menggunakan kata halalbihalal sejak dulu kala, tahun 1920-an ada istilah chalalbichalal,” imbuhnya.
Idul Fitri dan Ucapan Minal Aidin
Ain meluruskan, Idul Fitri sebenarnya bukan kembali ke suci, justru kembali makan. “Awalnya nggak puasa, kemudian puasa, lalu kembali nggak puasa,” ujar lulusan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Al-Fitri juga berarti fitrah manusia. “Kita sebenarnya terlahir fitrah, fitrah kita ya suci, menyukai kebaikan, tidak suka bentuk kejahatan, menyembah kepada Allah, menyukai kasih sayang. Karena di sebelas bulan itu mungkin kita mengalami pengaruh negatif sehingga bergeser dari fitrah kita,” jelas ibu dua anak itu.
Selanjutnya, ucapan minal aidin wal faizin apakah boleh? Sebenarnya itu adalah penggalan doa yang artinya, “Semoga Allah menjadikan kita termasuk pada orang yang kembali (ke fitrah) dan orang-orang yang menang.”
“Jadi ya boleh-boleh saja kita menerima ucapan minal aidin wal faizin. Jangan kemudian itu bid’ah. Itu menjadi tren tersendiri yang sudah kita terima. Masih selaras dengan syariat Islam,” tuturnya.
Selain itu, Ain mengimbau untuk tetap menghidupkan sunnah dengan mengucapkan ‘Taqabbaalallahu minna waminkum’. “Itu ada haditsnya, saat berakhirnya Ramadhan Rasulullah mengajarkan berdoa itu yang artinya Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan kalian,” ungkap Ain.
Silaturahim atau Silaturahmi?
Ain menerangkan, yang benar menurut bahasa Arab yaitu silaturahim, terdiri dari silat dan rahim. “Tapi sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia silaturahmi,” ujarnya.
Ini seperti halnya shalat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diserap menjadi salat, bukan sholat. Juga seperti insyaallah. “Memang ketika kata bahasa Arab diserap dalam bahasa Indonesia tidak bisa seutuhnya harus kita paksakan sesuai transliterasi bahasa Indonesia yang kayak di skripsi itu,” jelasnya.
Asalkan sudah paham maknanya ‘jika Allah menghendaki’, maka tak masalah penulisannya dipisah in-sya-Allah atau digabung. “Kita kembalikan ke KBBI penulisannya seperti apa, mau pake sya, sha, sa, yang penting pengucapan kita sesuai bahasa Arab,” tutur Guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) Gresik itu.
Baca sambungan di halaman 2: Fikih Puasa Syawal