Dua Sebab
Tentang Islamofobia, di negeri ini, juga ada. Itu diakui Mohammad Natsir (1908-1993). Pahlawan Nasional yang pernah memegang amanah di berbagai jabatan pemerintahan-termasuk sebagai Perdana Menteri-itu, punya ulasan yang bisa kita renungkan kapan saja.
Ulasan itu ada di buku “Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antargenerasi” yang cetakan ketiganya terbit pada 2019. Buku ini merupakan hasil wawancara antara lima aktivis muda (kala itu) dengan Natsir. Adapun kelima “aktivis muda” itu adalah Yahya Muhaimain, Ahmad Watik Pratiknya, Kuntowijoyo, Endang Saifuddin Anshari, dan Amien Rais.
Di buku yang dimaksud, di halaman 65-68, khusus mengupas “Penyakit Islamofobia”. Bagi Natsir, gejala Islamofobia muncul sejak zaman Orde Lama. Dia ingat, Bung Karno mengatakan bahwa kita jangan terkena komunistofobia.
Dalam pandangan Natsir, sikap Bung Karno yang demikian itu sebagai upaya mengintroduksi komunisme ke dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu, kata Natsir, Bung Karno menumbuhkan Islamofobia.
Islamofobia, terang Natsir, tetap ada sampai sekarang. Hal ini, disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena kekurangan pengertian terhadap Islam. Kedua, karena sengaja untuk mengucilkan Islam.
Kedua faktor itulah, lanjut Natsir, yang menjadi sebab mengapa umat Islam sering dituduh sebagai ekstrim kanan atau ekstrim-ekstrim yang lain. Di titik ini, masih kata Natsir, ada anggapan bahwa kalau orang percaya sepenuhnya tentang Islam sebagaimana yang diajarkan dalam al-Quran dan Sunnah, dituduh fanatik. Lalu, kalau sebuah organisasi masih “mewarnai” dirinya dengan Islam, dituduh a-nasional bahkan tidak setia kepada Pancasila sehingga perlu dikucilkan.
Hamka, Sama!
Di titik ini, catatan Natsir tentang Islamofobia beririsan dengan pendapat Hamka. Mari simak sikap Hamka yang menarik.
Sungguh menarik, karena pandangan Hamka berikut ini disampaikan sebagai bagian dari khutbah Idul Fitri pada 1968 di Istana Negara. Saat itu, hadir Presiden Suharto.
“Janganlah Pancasila hanya jadi buah mulut, melainkan jadikanlah ia buah hati,” kata Hamka. Oleh karena itu, lanjut Hamka, “Jadilah kita semua umat Muslimin ini taat beragama. Dengan ketaatan beragama, dengan sendirinya Pancasila terjamin keselamatannya. Dan, orang yang mengaku dirinya Pancasila sejati, padahal tidak terang apa agama yang dipeluknya, sungguh tidaklah akan dapat mengamalkan dan mengamankan Pancasila” (Dari Hati ke Hati, 2016: 248).
Di kesempatan yang berbeda, Hamka ingat perlakuan kepada ulama yang tak seharusnya. Kata Hamka, bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis berlangsung di negara kita. Manifestasinya ada di dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia.
Lalu, lanjut Hamka, ulama yang dipandang kontra-revolusi yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan.
Terus, tutur Hamka, meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti-Soekarno dan antikomunis (baca eramuslim.com. Luar biasa!
Siapa Hendak?
Mari menunduk! Semua bentuk Islamofobia, sesungguhnya tak punya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Khusus di negeri ini, misalnya, Islam dan umat Islam punya kontibusi sangat besar. Salah satu “saksi”-nya, bisa diwakili oleh buku karya Lukman Hakiem yang terbit pada 2021 ini: “Utang Republik pada Islam; Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI”.
Mari menunduk, lebih dalam lagi! Renungkanlah ayat ini dengan sepenuh penghayatan: “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (ash-Shaff: 8). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni