Ujrah atau Honor bagi Imam
Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilan, dan Ibnu ‘Utsaimin berperndapat haram hukumnya mengambil ujrah atau upah. Hal ini diqiyaskan pada hukum yang sama untuk muadzin.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ كَانَ آخِرُ مَا عَهِدَ إِلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَتَّخِذَ مُؤَذِّنًا يَأْخُذُ عَلَى الْأَذَانِ أَجْرًا. رواه أبن ماجه
Dari Utsman bin Abu Al ‘Ash ia berkata, “Terakhir yang Rasulullah ﷺ ambil janjinya dariku adalah agar aku tidak mengangkat seorang muadzin yang meminta upah dari adzannya.”(HR Ibnu Majah)
Sedangkan ada yang berpendapat tidak boleh menerima ujrah kecuali karena memang ada hajat yang mendesak, sehingga tetap niat shalatnya itu karena Allah semata dan tidak manjadikan ia kaya. Termasuk di dalamnya jika diambilkan dari baitul mal, karena memang baitul mal dimaksudkan untuk kemaslahatan umat.
Masjid Memberi Solusi
Maka sudah seharusnya, shalat berjamaah di masjid akan merefleksi dalam berjamaah dalam berbagai aktivitas keumatan. Sehingga seluruh problem umat dapat mendapatkan solusi dalam kehidupan kemasjidan. Umat menjadi tertata dengan baik dan sekaligus masjid menjadi pusat peradaban bagi kaum Muslimin. Di sinilah eksistensi masjid akan berfungsi sebagaimana mestinya. Dan tanggung jawab ini adalah terletak pada pengurus takmir masjid dan atau imamnya.
Sebagaimana jika kita potret fungsi masjid pada masa Rasulullah, pada tahap awal setelah mendirikan Masjid Nabawi, Rasulullah mendirikan majlis taklim atau majlis ilmu, di mana para sahabat khususnya ahlu shuffah yang di antaranya sahabat Abu Hurairah merupakan sahabat yang cerdas sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama.
Pada tahap berikutnya dengan lembaga kemasjidan tersebut Rasulullah mengatur umat dalam berbagai aspek kehidupannya. Termasuk dalam rangka mengatur strategi kemiliteran dan lain sebagainya.
Sehingga seharusnya dalam seluruh aspek kehidupan umat ini sebenarnya dapat termenej lewat lembaga kemasjidan. Dengan ibadah mahdhah mestinya akan bergerak menuju ibadah ghairu mahdlah atau sering pula disebut sebagai muamalah, tentunya dalam hal ini tidak dalam ruang utama masjid yang merupakan tempat shalat dan iktikaf, tetapi ada ruangan khusus dan kantor yang dapat digunakannya.
Maka sungguh peradaban umat sangat tergantung bagaimana masjid dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Termasuk dalam rangka kesejahtraan umat lahir dan batin merupakan tanggung jawab dari lembaga dalam islam yang bernama ketakmiran masjid tersebut.
Imam sekaligus Pemimpin Umat
Imam merupakan simbol kepemimpinan dalam Islam. Pada tahap awal Rasulullah merupakan imam satu-satunya, tiada seorang pun yang menggantikan beliau. Dan hanya pada saat beliau sakit yang sangat sehingga menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu untuk menggantikannya. Sekaligus hal ini sebagai tanda bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan sahabat utama yang paling mumpuni.
Dengan demikian, sudah seharusnya masjid-masjid ini berbenah untuk kemudian dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Termasuk fungsi kelembagaan imam yang mestinya dapat memberikan fatwa-fatwa kontemporer kepada umatnya. Sekaligus bagaimana masjid dapat menjadi pusat kegiatan untuk memecahkan semua persoalan yang dihadapi oleh umat atau jamaahnya.
Maka imam shalat bukan semata imam dalam shalat, tetapi sekaligus sebagai pemimpin bagi jamaahnya, yang tentunya selalu dapat dijadikan teladan dan panutan.
Dan dalam koordinasi atau kepemimpinannya mampu menjadikan maslahat umat atau jamaahnya. Setiap kali memimpin shalat, seorang imam selalu membuat pernyataan kepada Allah sebagaimana dalam surah al-Fatihah, yakni menjamin dengan kalimat kami hanya beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah semata. Jaminan seorang imam demikian akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Syarat Jadi Imam Shalat dan Hukum Menerima Honor adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 23 Tahun XXVI, 21 Mei 2022/18 Syawal 1443