Islamofobia dan Tantangan Hijab di Abad 21: Liputan Ain Nurwindasari, kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO-Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur mengadakan Talk Show Pendidikan dalam rangka Hari Buku Nasional di Atrium A Maspion Square Surabaya, Kamis (19/05/2022).
Acara diikuti oleh guru SD dan SMP Muhammadiyah di Jawa Timur ini merupakan rangkaian dari Festival Hari Buku Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) 17-22 Mei 2022.
Dalam kegiatan ini Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Arbaiyah Yusuf MA menjadi nara sumber utama dalam talk show bertajuk Tantangan Hijab Abad 21. Dia memberi motivasi, dengan terselenggaranya kegiatan ini di ‘ruang terbuka’ menjadi suatu tantangan sekaligus kesempatan bagi dakwah Muhammadiyah.
“Dalam rangka Hardiknas, kita harus muncul di ruang terbuka. Ini merupan kesempatan untuk menebarkan nilai-nilai dakwah Muhammadiyah secara lebih luas,” ungkapnya.
Soal tantangan hijab di abad 21 menurut Arbaiyah merupakan bagian dari islamofobia yang terjadi di seluruh dunia. “Bahkan di Indonesia dulu tahun 1980-an ada larangan pemakaian hijab di sekolah-sekolah negeri,” tuturnya.
Menurut wanita yang menyelesaikan pendidikan master di McGill University Montreal Canada ini, Islamofobia dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran manusia.
“Prancis dulu adalah negara yang agamis, sehingga nilai-nilai etika diikat oleh agama. Seiring berjalannya waktu nilai-nilai etika tidak diikat oleh agama melainkan oleh akal dan logika,” jelasnya.
Islamofobia di Zaman Nabi
Arbaiyah lantas menjelaskan bahwa Islamofobia sejatinya telah terjadi sejak awal Islam diumumkan oleh Rasulullah SAW.
“Dari unsur pemuka Quraisy termasuk paman beliau Abu Lahab dan Abu Jahal adalah kelompok anti-Islam. Dari kondisi ini tentu saja Islam mendapat efek negatif,” jelasnya.
Wanita yang menjadi dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya ini memperhatikan bahwa islamofobia di negara-negara Barat sudah mulai berkurang.
“Pada tahun 1443 H ini pertama kalinya dilaksanakan shalat Id di New York Square, dan ditemukan penelitian bahwa 46 persen masyarakat Canada mengatakan bahwa islamophobia adalah kesalahan,” terangnya
Menurutnya ini merupakan hal positif bagi umat perkembangan peradaban umat Islam. Namun disayangkan, bahwa yang terjadi saat ini Islamophobia tidak hanya ditebarkan oleh umat non muslim. Setidaknya di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim Islamophobia itu tidak bisa dinafikan dengan adanya pelarangan penggunaan jilbab di sekolah negri pada tahun 1980-an.
“Kemudian Mendikbud ristek Nadiem Makarim pernah memberikan catatan negatif pada salah satu SMP negeri di Padang yang memberlakukan pemakaian jilbab bagi seluruh siswa, dan terbaru ada Prof. Budi Santoso, Rektor ITK, dosen ITS, menjadi sasaran publik ketika menggunakan istilah manusia gurun untuk muslimah yang memakai jilbab.,” ungkapnya.
Untuk itu, Arbaiyah menyarankan kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah, “Bagaimana anak-anak itu keimanannya betul-betul dikuatkan melalui pembelajaran yang holistik.” Terangnya.
Arbaiyah mengingatkan bahwa saat ini sudah ada hari peringatan Hari Anti=islamofobia.
“Sekarang sudah ditetapkan 15 Maret 2022 adalah hari Anti islamophobia. Di Amerika dan Eropa, Islam semakin berkembang, tapi di Indonesia, ya itu tugas kita. Kullukum rain, setiap kalian bertanggung jawab ya. Dan setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya. Kita sebagai umat Islam bagaimana caranya agar islamofobia itu tidak semakin berkembang,” elasnya.
Soal LFBT
Tidak hanya mendiskusikan Islamofobia, namun dalam talk show pendidikan ini Arbaiyah juga menanggapi pertanyaan terkait bagaimana Majelis Dikdasmen menanggapi isu LGBT yang saat ini telah merebak.
“Wajar jika saat ini siswa dapat mengakses konten-konten semacam itu karena mereka memang memasuki era di mana mereka bebas mengakses berbagai macam konten dari berbagai sumber. Majelis Dikdasmen sudah mengeluarkan buku-buku Ismuba.”
Menurutnya tugas guru saat ini adalah bagaimana dalam pembelajaran apapun siswa diajak untuk melakukan muhasabah tentang keimanan maupun pergaulan di akhir pembelajaran.
“Misalnya siswa ditanya, apa pendapat kalian jika ada fenomena seperti ini (LGBT); Apa pendapat kalian jika harus keluar dari agama Islam tapi mendapatkan pekerjaan dan gaji yang besar. Yang semacam itu harus dilakukan. Makanya di luar negeri itu pertanyaan tidak multiple choice, tapi uraian sehingga memicu nalar berpikir siswa,” terangnya.
Terakhir, Arbaiyah mengajak agar seluruh guru memiliki cara berpikir agar segala sesuatu bersumber dari Allah.
“Maka bagaimana caranya kita punya epistemologi sumber segala sesuatu adalah Allah. Jangan berpikir sumber gaji kita adalah kepala sekolah. Namun terkait bagaimana kita berinteraksi dengan atasan, etika tetap kita kedepankan,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni