Muhammadiyahfobia, kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Belum reda ingatan warga Muhammadiyah atas kekerasan yang dialami saudaranya di Cluring Banyuwangi, muncul kejadian serupa di Bireun Nangroe Aceh Darussalam. Dikabarkan oleh beberapa media, tidak terkecuali media-media Muhammadiyah, perihal penyitaan material Masjid Taqwa Muhammadiyah yang terletak di Desa Sango, Samalanga, Bireuen, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bireun pada 12 Mei 2022.
Penyitaan beragam material menindaklanjuti pembongkaran atas tiang-tiang bakal pendirian masjid yang sebelumnya telah mengalami banyak gangguan dan ancaman, bahkan pembakaran. Tindakan Satpol PP disebutkan atas perintah bupati setelah mendapat tekanan dari pihak yang tidak berkenan dengan berdirinya masjid Muhammadiyah di daerah tersebut.
Tindakan Satpol PP mengingatkan pada kegiatan razia pada pedagang kaki lima yang setelah berkali-kali diperingatkan tetap nekat berjualan. Atas kejadian tersebut Satpol PP biasanya mengangkut lapak-lapak pedagang agar tidak lagi berjualan karena perlengkapannya disita.
Satpol PP sering berdalih para pedagang kaki lima yang susah ditertibkan mengganggu kenyamanan dan keindahan kota. Yang sering juga dimasalahkan dalam razia pedagang kaki lima oleh Satpol PP adalah keberadaannya seringkali tanpa badan hukum atau biasa disebut sektor informal. Memperlakukan aset Muhammadiyah yang berbadan hukum sebagaimana aset sektor informal jelas suatu kesalahpahaman bahkan gagal paham.
Kejadian di Bireun Aceh dan di Banyuwangi Jawa Timur memiliki pola yang hampir sama yaitu adanya bantuan dari aparat pemerintah pada kelompok intoleran yang mengganggu aset Muhammadiyah. Jika kejadian di Banyuwangi melibatkan oknum aparat tingkat desa dan kecamatan, di Bireun melibatkan oknum aparat tingkat kabupaten.
Aparat pemerintah yang seharusnya menegakkan hukum memfasilitasi kelompok intoleran yang tidak berbadan hukum mengganggu kelompok yang berbadan hukum. Profesionalisme aparat pemerintah sangat diperlukan untuk meredam konflik horizontal karena sikap netral saja tidak cukup. Keberpihakan pada hukum yang adil dan telah disepakati bersama sebagai bentuk sikap netral yang profesional.
Kejadian di Bireun Aceh dan di Banyuwangi Jawa Timur adalah sebagian kecil dari banyaknya kasus penolakan, gangguan, kekerasan bahkan kekejaman yang dialami warga Muhammadiyah. Pihak terkait di jajaran Pimpinan Muhammadiyah tingkat pusat sampai wilayah bahkan daerah memiliki data-data kekerasan pada aset maupun warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Kejadian kekerasan pada aset dan warga Muhammadiyah oleh kelompok intoleran tidak bisa dianggap kecil.
Banyaknya kasus serupa layak dinamakan Muhammadiyahphobia yang hanya terjadi di Indonesia. Masyarakat muslim di luar Indonesia atau muslim di Indonesia tetapi bukan warga Muhammadiyah pasti tidak merasakannya. Istilah Muhammadiyahphobia barangkali terkesan “baper” atau “cemen”, tetapi jika tidak disuarakan terus-menerus beragam kekerasan dan kekejaman pada aset dan warga Muhammadiyah akan dianggap “wajar”.
Dunia mengenal Islamofobia, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobia. Pengakuan dari PBB tersebut menunjukkan bahwa Islamophobia benar-benar ada, bukan mengada-ada. Selama ini banyak terjadi dualisme terhadap aktivitas yang berhubungan dengan umat Islam, diskriminasi kerap menimpa umat Islam.
Ketika ada seniman membuat lukisan atau komik bernada menghina umat Islam dan nabinya dianggap bagian dari hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan sebagainya. Sementara jika ada umat Islam yang berusaha menuntut haknya seperti di Palestina disebut kelompok radikal.
Baca sambungan di halaman 2: Makna Islamofobia dan Muhammadiyahfobia