Makna Islamofobia dan Muhammadißyahfobia
Secara umum pengertian Islamofobia yaitu ketidakadilan, kekerasan bahkan kekejaman yang dihadapi umat Islam dan dilakukan kelompok bukan Muslim. Memasuki abad ke 21 ditengarai Islamophobia meningkat pesat, selain di Palestina banyak kejadian baru menimpa umat Islam di Myanmar, Uyghur, India dan sebagainya. Menjelang akhir abad ke 20 yang lalu tepatnya sekitar tahun 1991 sampai 1992 kekerasan pada umat Islam terjadi di negara Balkan, Bosnia Herzegovina. Di Indonesia juga terjadi peristiwa pilu tahun 1999 Muslim Ambon mengalami kekerasan dari kelompok bukan Muslim.
Syukur alhamdulillah konflik Ambon berangsur mereda, hingga kini Ambon dan Maluku secara umum kondusif. Berakhirnya konflik Ambon secara cepat dan tidak sampai berlarut-larut menunjukkan kekerasan berlatar agama bukan budaya Indonesia. Demikian juga konflik-konflik berlatar agama lainnya yang berlangsung spontan mudah diredakan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Sikap tegas aparat pemerintah pada kelompok intoleran sebagai kunci penuntasan konflik horizontal berlatar apapun.
Islamofobia yang dikampanyekan oleh umat Islam seluruh dunia terbukti mendapat perhatian badan dunia PBB. Mengkampanyekan Islamophobia bukan perilaku baper apalagi cemen tetapi bagian dari jihad intelektual karena tidak mungkin, tidak zamannya atau belum waktunya jihad menggunakan pedang. Anti-Muhammadiyahfobia tidak ada salahnya dikampanyekan sebagai bagian dari bukti ikatan persaudaraan “innamal mukminuuna ikhwah”. Seluruh orang Mukmin bersaudara dan tanda nyata adanya ikatan saudara adalah ikut merasakan sakitnya jika ada yang sakit sebagaimana satu kesatuan tubuh.
Sangat disayangkan dalam usianya yang menginjak lebih dari satu abad, kehadiran Muhammadiyah mendapat penolakan dari kelompok intoleran, bahkan sebagian besar mengaku Muslim. Kehadiran Muhammadiyah di tengah masyarakat Kristen, Katolik di Papua, NTT, Sulawesi Utara, dan sebagainya tidak dipermasalahkan. Kehadiran Muhammadiyah justru banyak mendapat penolakan di sebagian basis umat Islam, sebagaimana di Banyuwangi Jawa Timur dan Bireun Aceh. Aneh tapi nyata, fakta tapi nyaris sulit dipercaya. Kehadiran masjid Muhammadiyah bukan hanya sarana ibadah, lebih lanjut terbukti bisa menjadi pusat muamalah pendidikan, sosial, kesehatan bahkan perekonomian.
Dengan beragam kiprah Muhammadiyah sejak 1912 sebagai organisasi yang sah sungguh aneh jika masih ada kelompok intoleran yang gerah. Muhammadiyahphobia sebagaimana Islamofobia nyata adanya. Menyuarakan anti-Muhammadiyahfobia setara anti-Islamofobia bukan bermaksud menuntut agar Muhammadiyah dianakemaskan. Lebih utama menjadikan masyarakat Indonesia beserta aparat pemerintah mengerti hukum sebagai panglima keadilan yang sesungguhnya.
Jika aset dan warga Muhammadiyah yang telah berkiprah seratus tahun lebih bisa dilarang-larang hanya dengan “perasaan” tidak senang oleh sekelompok orang, tuduhan-tuduhan tidak benar, penyebab perpecahan, perselisihan dan sebagainya, tentu ormas lain akan mudah diperlakukan demikian.
NKRI harga mati bukan ilusi, Bhinneka Tunggal Ika bukan jargon semata, UUD 1945 bukan sekadar bacaan syarat “sahnya” upacara bendera oleh aparatur negara. Di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 tertulis kewajiban pemerintah menjamin kemerdekaan hak-hak tiap penduduk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Wallahualambishawab (*)
Editor Mohammad Nurfatoni