Buya Syafii Tak Pernah Menggibah terungkap di buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa karya Lukman Hakiem, yang ditebitkan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: November 2020.
Tulisan ini diterbitkan PWMU.CO untuk mengenang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998–2005 Prof Ahamd Syafii Maarif (86) atau yang dikenal dengan Buya Syafii, yang wafat, Jumat (27/5/22) pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.
PWMU.CO – Beberapa tahun akrab dengan Pak Syafii, saya belum pernah mendengar dia ngrasani, menggibah, atau ‘ngomongin’ orang lain. Ini karakter khas mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Jika pembicaraan mulai mengarah ke ‘ngomongin orang lain’, seraya mengibaskan tangannya Pak Syafii berkata, “Ah, sudahlah,” atau “Lupakan dia.” Akibatnya, acara ghibahpun tidak berlanjut.
Sesudah berpisah, saya tinggal di Sukabumi, Pak Syafii di Yogyakarta; saya terus mengikuti pikiran-pikirannya. Wajar belaka jika tidak semua pendapatnya saya setujui atau tidak saya setujui.
Dalam hal ini, saya terkesan oleah pesan almarhum Anwar Harjono, “Lawan pendapat adalah kawan berpikir.”
Di luar segala pendapatnya mengenai berbagai hal, saya tidak pernah kehilangan hormat pada Pak Syafii.
Narasumber Usulan Pahlawan Nasional
Sejak tahun 2018, saya dan teman-teman aktif mengusulkan berbagai tokoh menjadi pahlawan nasional. Dalam kegiatan tersebut, kami selalu minta Pak Syafii—sebagai pakar sejarah—untuk menjadi narasumber dan seminar yang dilaksanakan untuk itu. Dan Pak Syafi’i tidak pernah menolak permintaan panitia.
Demikianlah Pak Syafi’i tampil sebagai pembicara membahas M Natsir, HAMKA, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan AR Baswedan.
Akibat sering bertemu dalam acara seperti itu, jika bertemu, Pak Syafii kerap bertanya, “Siapa lagi yang Anda akan usulkan jadi pahlawan.” (*)|
Editor Mohammad Nurfatoni