Tentang Sapaan Buya
Belakangan setelah kami bersama di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di mana Pak Syafii jadi Ketua dan saya Sekretaris, sikap humanis itu semakin saya temukan dalam banyak hal. Maka, kami di lingkungan PP Muhammadiyah maupun kebanyakan angkatan muda menjadi akrab dan merasa lebih nyaman jika pada akhirnya menyapa Pak Syafii dengan panggilan Buya, Buya Syafii Maarif yang humanis dan egaliter itu. Dua sifat tersebut cukup untuk menciptakan suasana kepemimpinan yang cair, akrab, dan bersahaja. Kepemimpinan yang ditampilkannya tidak angker. Itulah Buya Syafii Maarif.
Sapaan Buya pun punya sisi lain bagi tokoh yang satu ini. Ketika kami awal sering memanggilnya “Buya”, dia suka memelesetkan dengan kata “buaya”, seolah mencoba menetralisasi atau ingin membersihkan kandungan “karismatik” atau “feodalistik” yang dari sebutan khas untuk tokoh Minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Di hadapannya apa pun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa, dan bahkan lugu atau polos. Itulah sikap seorang tokoh yang selalu menampilkan keotentikan. Sikap apa adanya, tanpa dibuat-buat. Tokoh yang tak ingin ditokohkan secara berlebihan.
Maka Buya pun di kemudian hari memberi sisi penting dalam perjalanan Muhammadiyah, juga untuk bangsa ini. Seolah mengisi ruang kosong, yakni otentisitas sikap, sosok yang menampilkan banyak hal dalam sikap dan tindakannya dalam kesahajaan. Dengan kecerdasannya sebagai akademisi dan guru besar yang berwawasan melintasi, Buya memberi warna yang benar-benar kultural dalam makna yang sesungguhnya, tidak dibuat-buat dan tanpa banyak bungkus apalagi topeng.
Kadang sedemikian bersahaja dan sikapnya yang lepas atau lugu, kadang tak jarang masuk dalam suasana politisasi bagi pihak-pihak yang ingin “memanfaatkannya”. Kendati, makin hari Buya juga semakin “cerdas” dalam membaca gelagat-gelagat politisisasi dan dunia politik. Buya kemudian menjadi tokoh nasional yang memperoleh tempat khusus yang mungkin langka, ketika para tokoh lain satu persatu masuk ke dunia politik atau tergiur dalam aroma dunia politik dalam kadarnya yang beragam.
Buya Syafii kemudian menjadi sosok yang menonjol di negeri ini. Kendati begitu, tokoh yang satu ini selalu menetralisasi setiap bentuk penokohan yang berlebihan pada dirinya. Dia selalu mengutip istilah “primus inter pares” ketika ditokohkan. “Saya hanya seorang yang pertama dari yang setaraf,” katanya. Mungkin karena sikapnya yang apa adanya itu membuat dirinya tampil tanpa beban dalam menyandang ketokohan. Dia tak tampak ingin dipuja-puji, lebih-lebih ditokohkan secara berlebihan. Dia bahkan sering tampak kaku kalau dilayani keperluannya oleh karyawan di lingkungan PP Muhammadiyah. Bahkan untuk sejumlah acara maupun ke kantor sering menyetir kendaraan sendiri, dan tampak menikmati.
Tapi kritik pun dialamatkan pada Buya. Buya sering menjadi sasaran kritik pada penganut paham literal dalarn pemikiran Islam. Buya dihembuskan sebagai pembawa pikiran liberal di Muhammadiyah, yang tidak cocok dengan Muhammadiyah “asli”. Buya juga dikritik tidak mudah untuk turun ke bawah, ke Muhammadiyah “akar rumput”. Dan Buya mendengar kritik-kritik itu.
Dia tak segan untuk diajak bicara dan menghadiri pertemuan untuk menjelaskan pikirannya. Bahkan dengan para aktivis Mujahidin pun tak ada halangan hingga datang ke markasnya di Jalan Veteran Yogyakarta, untuk berdiskusi. Di samping berdialog dengan kalangan internal Muhammadiyah. Belakangan Buya mulai turun ke bawah, meski frekuensinya masih harus berbagi dengan acara-acara nasional yang memang padat.
Baca sambungan di halaman 3: Warna Baru bagi Muhammadiyah