Warna Baru bagi Muhammadiyah
Kehadiran Buya Syafii Maarif maupun Pak Amien Rais pada masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, telah memberikan warna baru bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah telah dibawa ke tengah dan ke muka percaturan nasional bahkan global secara dinamik. Inilah yang tidak tampak pada kepemimpinan Muhammadiyah sebelumnya. Perkembangan pemikiran dan dialog pemikiran pun berkembang dengan pesat, meski tak jarang menimbulkan pro dan kontra.
Tapi itu penting bagi Muhammadiyah, yang selama ini menyandang predikat sebagai gerakan tajdid. Mana mungkin ada tajdid tanpa pengembangan dan dialog pemikiran. Kiai Dahlan pun termasuk pemikir dan merintis Muhammadiyah dengan pemikiran yang cemerlang, dan itulah Muhammadiyah yang “aseli”, yang “murni”. Bukan Muhammadiyah yang jumud. Tentu saja ada Muhammadiyah “asli” lainnya, yakni amal nyata.
Buya bersama Muhammadiyah telah hadir ke pentas nasional dengan wajah kultural. Ini cocok dengan alam pikiran dan sejarah Muhammadiyah sebagaimana dipelopori Kiai Dahlan. Muhammadiyah dengan tetap berpegang teguh pada prinsip gerakannya, dituntut untuk tampil melintasi dan menjadi tenda besar bangsa. Dan Buya Syafii Maarif memberikan goresan penting dalam rihlah (perjalanan) kultural yang penting itu, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia biasa.
Ke depan gagasan dan gerak kultural itu memerlukan aktualisasi ke bawah dengan pengayaan nilai-nilai Islami yang lebih kokoh. Gerak kultural tidak bisa berumah di atas angin dan lepas dari bingkai nilai Islam.
Kecintaan Buya pada bangsa ini juga sangat kuat. Dalam menemani selama empat tahun terakhir ini Buya begitu prihatin dengan kondisi negerinya. Kerut dahinya tampak sekali muncul kalau sudah membicarakan nasib bangsa. Bicaranya berasal dari suara hati, bukan naluri politik.
Tak berlebihan kini banyak pihak yang mengambil rujukan sekaligus menggantungkan harapan pada sosok dari ayah satu anak ini untuk terus menjadi pencerah bangsa, ketika sejumlah tokoh lain sejak Pemilu 2004 berguguran karena tergiur jalan kekuasaan. “Bangsa ini hancur, nyaris sempurna,” begitu kata-kata yang sering keluar dari keprihatinan batinnya untuk melukiskan betapa berat dan parahnya negeri ini.
Itulah Buya Syafii Maarif yang saya kenal. Dia seolah perpaduan antara Mohammad Hatta dan Hamka, tokoh bangsa dan sekaligus tokoh Islam humanis dan egaliter yang berwawasan melintasi. Sosok yang tak tergiur dengan godaan kekuasaan politik. Tokoh yang hadir dalam ikhtiar membangun peradaban umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Dengan kekurangan dan kelebihannya, Buya Syafii telah mengisi ruang kosong di Republik ini: memberi pencerahan dengan sikap yang otentik. (*)
Tulisan berjudul Buya Sosok Humanis dan Egaliter ini ditulis oleh Hadear Nashir yang saat itu menjadi Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dikutip dari buku Cermin untuk Semua Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, editor Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, (Maarif Institute, Jakarta: 2005).
Artikrl ini diterbitkan PWMU.CO untuk mengenang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998–2005 Prof Ahamd Syafii Maarif (86) atau yang dikenal dengan Buya Syafii, yang wafat, Jumat (27/5/22) pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.
Editor Mohammad Nurfatoni