Spirit Natsir, Belajarlah ke Sejarah
Berikut ini, catatan (lebih tepat, nasihat) Natsir tentang nilai penting bersikap berani dalam menegakkan kebenaran. Ulasannya yang mencerahkan ada di buku “Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antargenerasi”. Di dalamnya, ada bahasan: “Genesis” Kediktatoran: Tiada Kata “La” (2019: 39-41).
Adapun buku yang disebut di atas memuat serangkaian hasil wawancara antara lima aktivis dakwah dengan Natsir pada masa 1986-1987. Artinya, saat membaca uraian Natsir berikut ini silakan membayangkan suasana di ketika itu yang masih di lingkup Orde Baru.
Mari ikuti. Dalam perjalanan waktu, sikap seseorang-termasuk pemimpin-bisa berubah. Menurut Natsir, pada saat sidang-sidang konstituante sampai Dekrit Presiden pada 1959 dan memasuki periode “Demokrasi Terpimpin”-nya, Bung Karno rupanya sudah berubah.
Bukan saja, kata Natsir, tidak mau dialog tapi justru yang terjadi adalah suatu “kediktatoran”dalam rangka memaksakan kehendak politiknya. Bahkan, lanjut Natsir, untuk menghadapi lawan-lawan politiknya tidak segan-segan melakukan metode “fasisme”.
Natsir lalu memberi ilustrasi. Bahwa, musuh-musuh politik Bung Karno ditangkapi kemudian ditahan tanpa prosedur hukum yang jelas, tanpa kesalahan yang jelas. Hal yang penting alasannya adalah “kontra-revolusi” atau (di Orde Baru disebut) “subversi”.
Dalam pandangan Natsir, kediktatoran Bung Karno sebenarnya bukan semata-mata atas kesalahan dia sendiri. Natsir ingat tulisan seorang pujangga Mesir yang menyebutkan bahwa Fira’un itu menjadi Fira’un yang menganggap dirinya Tuhan bukan kesalahan Fir’aun semata-mata. Tetapi karena kesalahan rakyat Mesir. Mereka tidak pernah mau mengatakan ‘la’ (tidak) kepada pemimpinnya.
Kemudian Natsir menyebut bahwa mungkin analogi Mesir itu amat tepat jika kita hubungkan dengan kondisi kita waktu itu. Dalam masyarakat kita waktu itu juga beredar istilah “Yes Man” atau ABS (asal bapak senang) dan sejenisnya.
Adakah seseorang, kata Natsir, walaupun ia pemimpin dapat terbebas dari kesalahan atau kekurangan? Mestikah pikiran atau pendapatnya selalu benar? Tidak ada manusia yang seperti ini kecuali Nabi, karena memang dipelihara Tuhan dari kesalahan.
Terakhir, nasihat Natsir, yang penting bagi kita yang hidup di zaman sekarang ialah hendaknya pelajaran sejarah yang begitu mahal itu benar-benar dapat kita jadikan bahan renungan, siapapun kita ini. Apa kita sebagai rakyat biasa atau bawahan jangan alergi mengatakan “la” (“tidak”). Terlebih lagi kalau kita menjadi pemimpin, yang kita mendapat amanah dari rakyat atau umat.
Baca sambungan di halaman 3: Dua Teladan