Dua Teladan
Hamka dan Natsir tak hanya berbicara dan memberi nasihat. Perjuangan amar makruf nahi mungkar dari kedua Pahlawan Nasional itu, dapat kita saksikan sendiri. Keduanya, pejuang dan ulama yang kritis.
Kita perhatikan salah satu fragmen di kehidupan Hamka. Bahwa, pada 1981 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa: Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Fatwa itu ditandatangani KH M. Syukri Ghozali dan Drs. H. Mas’udi yang berturut-turut adalah sebagai ketua dan sekretaris Komisi Fatwa MUI. Sementara, Ketua Umum MUI kala itu adalah Hamka.
Setelah fatwa MUI itu keluar, tampak pemerintah tak berkenan. Pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa itu dicabut. Atas hal itu, Hamka memilih berkata “Tidak!” dengan cara mengundurkan diri dari posisi sebagai Ketua Umum MUI.
Selanjutnya, kita seksamai salah satu fragmen di kehidupan Natsir. Pada 5 Mei 1980, lima puluh tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan anggota DPR-RI. Isi “Petisi 50” (demikian dokumen itu kemudian disebut orang) jelas, lugas, dan berani yaitu menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara Pancasila (https://tirto.id/cLtN).
Di antara yang menandatangani “Petisi 50” termasuk tokoh-tokoh Partai Masyumi termasuk Natsir. Apa akibatnya?
“Petisi 50” membuat rezim Orde Baru marah luar biasa. Seluruh penandatangan “Petisi 50” lalu dibunuh hak-hak perdatanya. Mereka tidak boleh bepergian ke luar negeri, tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga negara dan pemerintah, tidak boleh mendapat fasilitas kredit dari bank pemerintah atau swasta, bahkan tidak boleh berada di satu ruangan dengan Presiden dan Wakil Presiden.
“Petisi 50” yang mengkritik dua pidato Presiden Soeharto mengenai Pancasila, sekali lagi, mengakibatkan hak-hak perdata Natsir dan kawan-kawan dibunuh oleh rezim Orde Baru. Sebagai contoh, meskipun hampir tiap tiga bulan datang undangan dari berbagai lembaga di luar negeri, Natsir tidak dapat menghadirinya karena pemerintah tidak mengizinkan Natsir bepergian ke luar negeri (Lukman Hakiem, Ed, 2022:15-16).
Itulah dinamika perjuangan. Natsir bersama seluruh penandatangan “Petisi 50” lainnya merasakan pahitnya akibat berani berkata “Ttidak!“ kepada penguasa. Hal itu, berlangsung lama. Memang, mana ada perjuangan yang tak butuh pengorbanan?
Semoga, ulasan Buya Hamka dan Buya Natsir menggugah kita. Semoga teladan Buya Hamka dan Buya Natsir dalam menjalankan syariat nahi munkar menambah semangat kita untuk mengamalkannya di keseharian. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni