Tiga Pendekar Berbeda Jalan
Tiga pendekar itu berbeda jalan. Nurcholish Madjid alias Cak Nur, adalah pendekar pemikiran Islam liberal yang kontroversial. Gagasannya mengenai sekularisasi menjadi kontroversi terbesar dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia. Jargon Cak Nur ‘’Islam Yes, Partai Islam No’’ ditentang sekaligus dikagumi oleh banyak intelektual Indonesia.
Syafii Maarif memilih jalan yang lebih teduh dan aman ketimbang Cak Nur. Syafii lebih memilih jalan Islam sebagai rahmatan lil alamin, Islam sebagai perekat dan pengayom kebhinnekaan. Syafii lebih memilih jalan sebagai guru bangsa. Semua orang menghormatinya dan menyebutnya sebagai ‘’Buya’’, Abuya, bapak kita, bapak bangsa kita.
Sepeninggalan Cak Nur dan juga Gus Dur, Amien Rais, dan Buya Syafii yang terus mewarnai dinamika pemikiran dan gerakan sosial-keagamaan serta politik di Indonesia. Pada akhirnya ketika sampai pada tataran politik praktis, dua pendekar Chicago itu berpisah jalan: Amien Rais konsisten menempuh jalur oposisi melawan rezim, Buya Syafii konsisten menempuh jalan dakwah kebhinnekaan bersama rezim Joko Widodo.
Sama-sama lahir dari rahim Muhammadiyah, dua tokoh ini memiliki ekspresi intelektual yang berbeda. Pak Amien lebih kental dengan intelektual gerakan yang sangat kritis dan revolusioner menyatu dengan massa. Sementara Buya Syafii adalah cendekiawan yang menebar kasih menjahit keindonesiaan. Teguh memperjuangkan hak-hak minoritas, pluralisme, dan menjaga kebhinekaan dengan tulus dan bijak
Pak Amien lebih fokus pada gerakan massa, kepartaian, dan tidak segan untuk turun ke jalan. Buya Syafii hampir tidak pernah turun aksi ke jalan bersama massa menyuarakan aspirasi-aspirasi politik, menentang pemerintah, atau berorasi di tengah massa rakyat.
Sikap kontras dua tokoh itu mulai terlihat kontras ketika menyikapi kasus penistaan al-Quran oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017. Pak Amien aktif bersama umat Islam turun ke jalan melalui Aksi Bela Islam, sementara Buya Syafii lebih memilih jalan damai. Buya melihat Aksi Bela Islam lebih kental muatan politiknya dan ia gelisah ketika umat masih belum menerima bahwa Indonesia adalah rumah bersama tanpa membedakan latar belakang agama, suku, dan ras.
Sepulang dari Chicago pada 1980-an, Pak Amien lebih dikenal sebagai intelektual yang kritis yang tidak takut menyuarakan pandangan-pandangannya yang berseberangan dengan rezim. Di samping menulis beberapa buku, Amien juga menerjemahkan karya-karya Ali Syariati, seperti lain ‘’Islam and Man’’ yang diterjemahkannya menjadi ‘’Tugas Cendekiawan Muslim’’. Dari pilihan topik dan tokoh yang diidolakan sudah terlihat bahwa Amien terinspirasi oleh gagasan dan gerakan tokoh intelektual yang mengobarkan revolusi Iran ini.
Buya Syafii lebih terinspirasi oleh pemikiran Fazlur Rahman, intelektual Pakistan yang menjadi suhu pemikiran pembaruan Islam yang lebih liberal. Sama dengan Cak Nur, Buya sangat terpengaruh oleh pemikiran Fazlur Rahman. Buya banyak memperkenalkan gagasan Fazlur Rahman. Puluhan buku yang ditulis Buya hampir selalu mengutip pemikiran Fazlur Rahman.
Buya Syafii juga banyak terpengaruh dengan pemikiran Muhammad Iqbal, ulama, intelektual, dan pujangga dari Pakistan. Iqbal memperkenalkan rekonstruksi pemikiran Islam dengan mengadopsi sumber-sumber intelektual Barat. Pemikiran Iqbal juga sangat sufistik, dan hal itu memengaruhi Buya yang sering mengutip Jalaluddin Rumi. Tidak heran jika Buya lebih memilih jalan progresif yang damai.
Baca sambungan di halaman 3: Tak Kehilangan Respek