Tak Kehilangan Respek
Amien Rais lebih dekat dengan pemikiran M. Natsir dan lebih konsisten menempuh jalan politik yang dirintis Natsir melalui Masyumi. Cak Nur dijuluki sebagai Natsir Muda, tetapi pemikiran Cak Nur mengenai penerapan syariah Islam berbeda dengan Natsir ‘’tua’’. Amien lebih konsisten dengan pemikiran Natsir muda maupun Natsir yua. Di mata Amien, Natsir merupakan pemimpin umat yang berhasil mengombinasikan intelektualisme dan keulamaan dengan seimbang.
Buya Syafii mengidolakan Bung Hatta. Dua-duanya sama-sama urang awak dari ranah Minangkabau. Di mata Buya Syafii, Hatta ialah sosok yang memiliki wawasan keindonesiaan dan berintegritas sebagai muslim. Bagi Buya Syafii, Bung Hatta merupakan seorang tokoh nasionalis religius yang inklusif.
Perbedaan itu tidak menghilangkan respek di antara dua pendekar itu. Bagi Buya Syafii, Amien punya jasa besar dalam hidupnya. Ia bisa kuliah di Chicago karena rekomendasi Amien. Peran Pak Amien besar ketika mendorong Buya menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Amien memilih turun ke jalan untuk melawan rezim Soeharto sampai akhirnya lahirlah reformasi 1998 yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto.
Rezim Soeharo yang sentralistik sedang berada pada puncaknya ketika dua cendekia muslim ini mulai menggarap agenda reformasi pada dekade 1990-an. Pasca-Tanwir Muhammadiyah di Semarang pada 1998, Amien memilih ijtihad politik dengan menggulirkan gagasan suksesi dan reformasi total.
Isu-isu sensitif kekuasaan Soeharto yang digulirkan Amien memperoleh respon luas dari kelompok muslim yang kemudian meluas ke kalangan mahasiswa dan kelas menengah perkotaan secara umum. Gerakan civil society memperoleh momentumnya dan Amien menjadi salah satu ujung tombak yang penting.
Buya Syafii lebih konsisten dalam menjaga nafas Muhammadiyah sebagai kelompok sipil yang aktif mendorong pembaruan Islam. Pak Amien pernah meminta Buya untuk jadi ketua partai yang direncanakan akan segera dibentuk, Buya menolak tawaran itu. Buya merasa tidak cocok terjun ke dunia politik praktis.
Buya lebih memilih jalan pemikiran intelektual yang lebih sunyi. Di bawah kepemimpinan Buya Syafii, Muhammadiyah bergerak cepat dalam perubahan politik global, bukan cuma di Asia Tenggara, Muhammadiyah bergerak ke arah internasionalisasi Islam.
Buya sabar menempuh jalan sepi untuk mengampanyekan gagasan “Islam Keindonesiaan” sampai akhir hayatnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni