Dunia Serbaparadoks
Setelah pembukaan, konferensi kemudian menghadirkan contoh-contoh aktivis kemanusiaan yang berjuang untuk perdamaian dan melawan prasangka pada kelompok-kelompok yang berbeda identitas.
Nudzejma, seorang profesional dan aktivis perempuan asal Bosnia Hercegovina yang bekerja di al-Jazeera, tampil sebagai contoh pertama. Ayahnya adalah seorang pemimpin Muslim Bosnia, yang dibunuh secara keji oleh tentara Serbia. Ia menuturkan bagaimana ayahnya dibunuh. Terlalu perih jika dikenang. Tetapi dia memutuskan untuk melupakan semua. Kata Ndzejma: “Dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Saya tidak ingin menjadi korban masa lalu.”
Nudzejma, sebagai bagian dari korban perang di Bosnia kemudian memilih menjadi aktivis perdamaian. Ia tidak ingin masa lalu yang berisi konflik berbasis identitas di Bosnia dan Serbia terus-menerus menjadi halangan bagi perwujudan perdamaian di antara berbagai kelompok.
Cerita yang sama juga disampaikan oleh Kemal, seorang penyintas perang Bosnia. Dia mengalami trauma dan putus asa atas apa yang dialami di masa lalu. Mengalami disorientasi, trauma dan kegamangan. Dalam situasi itu, ia bertemu seorang psikolog dari Rusia yang mengajaknya bergerak menuju kehidupan dengan cara yang lebih positif. Pada akhirnya, ia bergerak meninggalkan trauma masa lalu, bahkan memaafkan tentara yang dulu menyiksanya di kamp penyiksaan Serbia.
Pesan yang ingin disampaikan oleh Mohammedia Maroko terlampau jelas. Dalam situasi seperti yang sekarang ini terjadi di dunia global, telah nampak paradoks-paradoks. Dunia menyatu dengan mudah melalui aneka teknologi. Tetapi pada saat yang sama, sektarianisme, konflik atas nama identitas, atau konflik kepentingan yang didasarkan pada identitas, masih terjadi di berbagai sudut dunia. Maka organisasi-organisasi keagamaan harus menjadi pelopor perdamaian dan mempromosikan kemanusiaan di atas aneka ragam identitas dan kepentingan.
Dalam ranah yang berbeda, Muhammadiyah di Indonesia melakukan hal yang sama. Akhir-akhir ini bahkan Muhammadiyah semakin terdepan dalam melakukan humanitarian aid. Dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan, Muhammadiyah tidak pernah terjebak pada perangkap identitas. Muhammadiyah bergerak di bidang kemanusiaan untuk manusia, semata-mata karena manusia adalah manusia. Di atas identitas apapun, ada identitas yang lebih penting, yaitu identitas sebagai manusia.
Mohammedia Maroko, memang bukan Persyarikatan Muhammadiyah. Demikian pula Muhammadiyah Indonesia mungkin berbeda dengan Mohammedia Maroko. Keduanya melakukan hal-hal yang kelihatan berbeda. Tetapi dengan masing-masing kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, keduanya telah menunjukkan komitmen yang tinggi pada kemanusiaan. (*)
Rabat-Maroko, 1 Juni 2022.
Editor Mohammad Nurfatoni