Ada Surat An-Nisa tapi Tak Ada Surat Khusus tentang Lelaki, Mengapa? Liputan Kontributor PWMU.CO Trenggalek Candra Dwi Aprida.
PWMU.CO – Aisyiyah sudah eksis—menemukan jati dirinya—dan diakui oleh negara sejak 28 tahun sebelum Indonesia merdeka. Indonesia merdeka pada tahun 1945, sedangkan Aisyiyah ada di Yogyakarta sejak tahun 1917.
Demikian Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur Dra Hj Siti Dalilah Candrawati MAg menegaskannya di Kajian Ahad Pagi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Trenggalek di Masjid At-Taqwa, Dusun Tawing, Desa Ngadisuko, Kecamatan Durenan, Ahad (5/6/22) pagi.
Dalam cara yang sekaligus memperingati Milad Ke-105 Aisyiyah itu, Candra meluruskan, kita sedang memperingati hari lahirnya Aisyiyah bukan memperingati kelahiran pendiri Aisyiyah, Nyai Walidah.
Ia lantas menjelaskan dalam bahasa Jawa, Aisyiyah seperti legan golek momongan. “Ketoke wis enak, lego. Ndak nduwe kesibukan, enak-enak leyeh-leyeh, njujur balung, momong putu yo gak. Yang artinya sudah enak-enak santai, tidak ada kerjaan, tapi masih mencari kesibukan,” jelasnya.
Sebab, jika tak ada kesibukan, ibu-ibu aktivis Aisyiyah itu justru merasa lemas dan pusing. Alhasil, menempuh perjalanan ke kajian tersebut dengan menaiki kereta odong-odong pun ikhlas mereka jalani. “Masio boyok e pegel, numpak sepur (meskipun pinggangnya capek dań naik keret), penting ikhlas,” ujarnya.
Seperti itulah menurutnya gambaran bagaimana aktivis Aisyiyah bersama-sama menggerakkan persyarikatan. “Aisyiyah itu partnernya Muhammadiyah, partner itu konco (teman) sederajat,” lanjutnya.
Dia pun mengingatkan, Aisyiyah merupakan organisasi gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid berdasarkan al-Quran dan Sunnah yang tujuannya mewujudkan masyarakat Islam sebenarnya-benarnya.
Peran Aisyiyah
Dalilah juga menyampaikan, perempuan selalu menjadi isu sentral, bahkan sampai ada beberapa istilah terkait perempuan. “Ada yang namanya politik perempuan, 30 persen kuota perempuan, korban KDRT juga perempuan, sampai menjadi nama ayat an-Nisa’ yang artinya perempuan,” paparnya.
Adanya surat an-Nisa—namun tidak ada surat ar-Rijal, al-Untsa, ad-Dzakar—menurutnya juga menandakan pentingnya peran perempuan. “Karena itulah tema milad ini tentang Perempuan Mengusung Peradaban Utama,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, mengusung merupakan kalimat aktif. Berarti ada kegiatan yang sedang Aisyiyah lakukan dari tahun ke tahun, sejak tahun 1917. “Pada tahun 1919, Aisyiyah sudah mempunyai TK Aisyiyah Bustanul Athfal!” ungkapnya.
Artinya, kata Dalilah, Aisyiyah sejak lahir sudah mempunyai pemikiran bagaimana anak-anak sebagai generasi masa depan. Yakni harus menjadi anak shalih-shalihah, qurrata a’yun, dan dzurriyatan thayyiban.
Dia menerangkan ada banyak perempuan hebat di Indonesia bahkan sebelum kemerdekaannya. Salah satunya RA Kartini sebagai pejuang emansipasi. Contoh lainnya, Nyai Walidah, pengusung peradaban di persyarikatan Muhammadiyah.
Misi Nyai Walidah, lanjutnya, sejalan dengan misinya RA Kartini. “Tapi lebih luas, buktinya masih eksis dari sekarang. Aisyiyah sudah 105 Tahun, TK kita sudah 1 abad lebih, oleh karena itulah peran Aisyiyah dalam konteks ini banyak yang sudah diakui sebagai peran-peran yang tidak diragukan lagi!” terangnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/SN