Dunia Cinta sebelum Nikah
Dunia cinta sebelum nikah atau saat pacaran masih bersifat tertutup karena banyak hal yang dirahasiakan oleh yang bercinta, baik terhadap kekasihnya atau orang lain. Banyak juga imitasi atau kepura-puraan. Cinta dalam perkawinan sudah terbuka. Keterbukaan yang diibaratkan al-Quran dengan kata afdha, luas, yakni seperti keterbukaan angkasa raya, karena tidak ada imitasi atau rahasia antara suami istri.
Setelah menikah, hal tersebut akan sangat berkurang. Bahkan, mestinya sirna karena sejak semula telah lahir tekad untuk hidup bersama hingga kakek nenek, bahkan sampai ke surga akhirat kelak dan ini melahirkan kesetiaan dan ketenteraman (Shihab: 2007).
Cinta semasa berpacaran mengarah ke dalam. Untuk itu keduanya cenderung egois, mementingkan diri sendiri, masing-masing diliputi keraguan karena rasa takut kehilangan kekasih. Keraguan dan rasa takut itu sangat berpotensi melahirkan kecemburuan yang berlebih menyangkut kesetiaan. Cinta saat pacaran melahirkan rasa posesif yang berlebihan, rasa memiliki dan menguasai pasangan secara kelewat batas.
Taaruf yang diajarkan agama akan menjembatani kepetingan calon mempelai. Peran orangtua atau keluarga yang ditunjuk diperlukan sebagai pembimbingan, sekaligus pendampingan keduanya mengenal dari dekat dengan batas kewajaran.
Masyarakat Jawa mengenal tradisi ngenger, yaitu mengabdi beberapa hari di rumah calon mertua masing-masing. Sayang budaya ini sudah mulai ditinggalkan sebagian masyarakat. Di desa Botorejo, Kunduran, Blora, Jateng, masih dipegang dengan erat warganya.
Mereka belajar banyak hal dari sumber pertama adalah kedua orangtua dan keluarga terdekat lainnya. Melatih sebagai proses pembelajaran persiapan menuju pernikahan. Seperti apakah adab omah-omah, berumah tangga yang benar itu. Baik calon suami maupun istri akan mengenal kebiasaan dan karakteristik pasangan dan familinya masing-masing. Mulai beradaptasi dan menikmati lingkungan barunya (Kurnianingsih dan Brata: 2015).
Pelatihan Pranikah
Sekarang mulai marak bermunculan pelatihan pranikah secara simpel. Pelaksanaannya dengan hitungan beberapa hari saja. Salah satunya yang sudah dimanfaatkan oleh anak-anak, yang digagas seorang psikolog kondang Kang Asep Chairul Ghani. Sebenarnya penyemaian ini merupakan bagian dari Training Famili Terapi.
Mereka berdua diberi masalah untuk dipecahkan sendiri, baru kemudian didiskusikan dengan calon pasangannya dengan tetap di bawah arahannya. Memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing menjadi sangat penting, agar tidak menjadi pemicu berfriksi di kemudian hari. Kapan aktivitas bisa dilakukan bersama dan kondisi apa pula hanya dijalankan sendiri-sendiri. Dari sinilah komitmen mulai dibuat, dijaga. dan dirawat bersama.
Mereka mulai diajak sang mentor belajar meminimalkan dan mengelola perbedaan. Harapannya sejak dini mau bermawas diri, dan menyadari posisi dan perannya secara proposional, saling mengapresiasi sekecil apapun dan muaranya adalah meraih kebahagiaan.
Setelah menikah, kepalsuan sangat berkurang. Bahkan, mestinya sirna karena sejak semula telah lahir tekad untuk hidup bersama hingga kakek nenek, bahkan sampai ke surga akhirat kelak, dan ini melahirkan kesetiaan dan ketenteraman (Shihab: 2007).
Baca sambungan di halaman 3: Perkawinan Sebuah Awal