Perkawinan Sebuah Awal
Perkawinan dalam arti sebenarnya, acapkali dianggap suatu akhir (terutama untuk pasangan yang banyak mengalami tantangan selama masa pacaran).
Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa perkawinan merupakan suatu awal. Harmonis atau tidaknya kehidupan sesudah perkawinan tidak hanya ditentukan oleh masa pacaran, persiapan perkawinan, dan pesta perkawinan, tetapi justru oleh proses penyesuaian diri antara dua belah pihak sesudah perkawinan seumur hidup.
Penyesuaian diri tidak hanya terbatas pada masa pacaran, tetapi sesudah perkawinan pun mereka sering mengalami kejutan-kejutan mengenai pasangannya. Artinya, satu di antara mereka merasa tidak mengenali pasangannya yang menurutnya sudah dikenal dengan baik.
Sungguh pun demikian, dalam pernikahan mereka selalu berusaha menurunkan atmosfer, konflik, dan saling ketidaksenangan. Akan tetapi, semua itu bersifat sementara, terus berubah. Hal itu terjadi karena manusia itu tidak sempurna, mempunyai kelebihan dan kekurangan, mempunyai sisi terang dan gelap.
Kedua sisi itu harus dilihat secara utuh, tidak dapat dilihat sepihak saja. Akibatnya, pada saat kita merasa tidak senang, ingin menjauh karena kekurangan pasangan kita. Namun, kita tetap mempunyai ikatan dengannya karena menyadari kelebihan yang dimiliki pasangan kita (Suhirman: 2006).
Menurut agama, segerakan menikah bila sudah siap, dalam artian tidak ada sesuatu yang vital harus dinanti. Soal rezeki bisa dicari. Pernikahan akan mengantarkan seseorang hidup lebih bahagia, Iebih layak dan tenteram. Bahkan, akan mendapatkan anugerah dari Allah yang sebelumnya belum pernah diterima dan dirasakan.
Awal Keberhasilan
Dengan kata lain, pernikahan adalah awal dari keberhasilan mencapai kekayaan yang hakiki. Menikahlah, engkau akan menjadi kaya. Bukan sekadar ungkapan tanpa makna, melainkan sebuah sabda Rasul yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan logika (Mahalli: 2006).
Nikah dengan segera sangat dianjurkan agama. Banyak orangtua yang memilih anak-anaknya segera kawin siri. Kawin yang dinikahkan orangtua tanpa diformalkan lebih dulu adalah pilihan yang sangat syari. Pilihan bijak bagi orangtua yang tidak menginginkan putra-putrinya terlalu lama berada dalam status berpacaran.
Ada payung agama yang menghalalkan pergaulan mereka, meskipun belum berkumpul lebih dahulu. Berkumpul pun tak dilarang, tetapi biasanya mereka saling menjaga komitmen bersama untuk berpisah lebih dahulu menunggu waktu yang tepat.
Banyak yang tak setuju dengan model solusi semacam ini. Ketakutan akan tanggung jawab bila masing-masing telah berkumpul lantas tidak ada hitam di atas putih. Memang itu kelemahannya, tetapi apa kapasitas kita sebagai orangtua jika tidak memayungi mereka?
Pilihan ini tentu berbeda konteksnya dengan kawin siri yang dilakukan kebanyakan orang demi memenuhi keinginan berpoligami. Solusi ini memang riskan, bisa berdampak negatif dan menyulut fitnah. Dan yang banyak dirugikan adalah pihak wanita karena tidak mempunyai bukti yuridis formal. Tetapi, membiarkan anak bergaul lengket dengan pacarnya tanpa ikatan apa-apa juga bukan pilihan yang tepat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni