Hikmah Wukuf di Arafah
Apapun keadaanya, puasa Arafah merupakan puasa yang istimewa karena dapat menjadi kaffarat terhadap dosa-dosa kecil dalam masa dua tahun. Maka sudah seharusnya kaum Muslimin dapat menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Tentu dengan puasa sebagaimana lazimnya yaitu menahan nafsu diri dari tidak terkendali. Menjadikan pribadi yang bertakwa yang mencintai keduniawian karena cintanya kepada Allah SWT.
Sebagaimana pula bagi jamaah hajji yang sedang wukuf di Arafah, mereka diterik matahari yang sangat panasnya harus mampu membakar segala bentuk nafsu duniawinya untuk kemudian di arahkan mencapai mahabbtullah atau cinta kepada Allah.
Dari berbagai penjuru dunia jamaah haji berkumpul dengan berbagai warna kulit dan postur tubuh yang beragam. Mengenakan pakaian yang serba putih dan tanpa jahitan. Tiada lagi perbadaan antara semuanya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan kepada-Nya.
Standar dan ukuran dalam hal ini bukanlah dari wajah yang ganteng atau cantik, postur tubuh yang gagah atau mungkin kerempeng, punya rumah mewah, mobil mewah dan barang mewah lainnya atau tidak. Tetapi sejauh mana kecintaannya pada Allah yang kemudian membias pada sesamanya dan lingkungan alam sekitarnya, serta senantiasa menjaga intensitas hubungan dengan Rabb-nya Yang Mahakasih dan Mahasayang.
Bahagia tanpa Galau
Bagi mereka tidak lagi terikat dengan berbagai bentuk harta duniawi, kebahagiaannya selalu ada pada dirinya karena telah menemukan cinta yang sejati dan hakiki yaitu cinta Allah dan Rasul-Nya. Bahkan jikalau telah lenyaplah harta bendanya sebagai titipan dari-Nya, kebahagiaanpun tetap dirasakannya.
Dengan demikian bagi orang yang beriman dan sekaligus bertaqwa sesungguhnya dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun ia akan tetap selalu bahagia dengan rasa cintanya itu. Galau dan sedih mungkin ada tetapi sifatnya hanya sementara saja, kemudian ia dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang dihadapinya tersebut.
Itulah wujud sikap tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyerahkan segalanya kepada-Nya sambil terus bersabar dengan selalu terus aktif berbuat yang terbaik untuk dapat meraih yang terbaik pula. Begitulah seharusnya hasil tempaan kehidupan ini.
Semakin manjadikan setiap hamba sadar akan hakekat kehidupannya, bahwa ia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya pula. Tentu sebagaimana ia telah dilahirkan tanpa membawa sedikitpun harta dunia, maka ketika kembalipun ia juga akan tinggalkan semua harta bendanya tersebut.
Kerisauan dan kegalauan hatinya hanya timbul ketika ia merasa belum dapat sempurna dalam pengabdian kepada-Nya. Ibadah ritualnya belum begitu sempurna mencapai kekhusyuan, serta kadang masih terselip sifat riya’ dalam hatinya, yang kemudian ia buru-buru beristighfar yakni mohon ampun kepada-Nya.
Dan begitulah, ia selalu beristighfar atas kekurangannya tersebut yang ia rasakan belum pernah dapat mencapai kesempurnaan dalam beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Maka banyak beristighfar dan selalu berusaha memperbaiki diri dihadapan rabbnya senantiasa dilakukannya. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Puasa Arafah, saat Wukuf atau Tanggal 9 Dzulhijjah? Adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 29 Tahun XXVI, 1 Juli 2022/2 Dzulhijjah 1443