Puasa Arafah Berdasarkan Hari atau Tanggal? Kajian oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadis
PWMU.CO – Pada setiap menghadapi Idul Adha selalu muncul pertanyaan puasa Arafah, apakah puasa Arafah mesti berbarengan dengan wukuf haji di Arafah tanggal 9 Dzulhijah? Sedangkan di tiap wilayah di dunia ada selisih waktu. Bahkan Rasulullah sudah puasa Arafah sebelum datang kewajiban haji 10 H.
Suatu saat sebagian teman-teman mengalami dilema, berpuasa Arafahnya harus mengikuti saat jamaah haji wukuf di Arafah, sementara berhari rayanya harus mengikuti ketentuan pemerintah Indonesia.
Masalahnya, wukuf jamaah haji jatuh pada hari Jumat, sementara pengumuman pemerintah Indonesia hari raya Idul Adha jatuh pada hari Ahad. Lantas apa yang dilakukan pada hari Sabtu? Karena ia meyakini puasa Arafah itu pada hari saat pelaku haji wukuf di Arafah, bukan pada tanggal 9 Dzulhijah berdasarkan kalender Indonesia.
Puasa Arafah sebelum Haji Wada’
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Nabi saw. telah berpuasa tanggal 9 di bulan Dzulhijjah sebelum pergi haji Wada’ beralil sebagai berikut:
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ امْرَأَتِهِ، قَالَتْ: حَدَّثَتْنِي بَعْضُ نِسَاءِ النَّبِيِّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَتِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Dinarasikan Hunaidah bin Khalid dari istrinya dari sebagian istri Nabi: Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura, sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, tiga hari dari setiap bulan, hari Senin pertama dan dua Kamis berikutnya.
Hadits ini dikeluarkan Nasai: 2372, 2417; Abu Dawud: 2437; Ahmad: 22334, 26468, 27376.
Hadits tersebut dinilai Albani shahih. (Periksa Shahih Sunan Nasai: 2372, dan Shahih Abu Dawud: 2106). Namun Albani juga menilainya dhaif. (Periksa Dhaif Jami’ Shaghir: 4570).
Hadits di atas dikeluarkan para kodifikator dengan sanad: Abu Awanah dari Hur bin Shayah dari Hunaidah bin Khalid dari istrinya dari sebagian istri Nabi saw.
Dengan demikian pentashihan Albani tersebut perlu ditinjau ulang. Akar masalahnya karena terjadi kekacau balauan pada sanadnya. Hunaidah ada meriwayatkan dari istrinya, ada dari ibunya, ada tanpa dari istri dan ibunya. Itulah sebabnya Zaila’i menilainya lemah. Periksa Nusbu Rayah: 2/157.
Jika hadits itu layak dijadikan hujah, konotasinya bukan menunjukkan Rasulullah saw. berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, melainkan berpuasa selama 9 hari di bulan Dzulhijjah, wallahu a’lam.
Jika dipaksakan pemaknaannya pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka hal itu dilakukan Nabi saw. sebelum haji Wada’.
Sebagaimana dimaklumi, tahun 9H, di bulan Dzul Qa’dah Nabi saw. memerintah Abu Bakar memimpin haji. Inilah haji pertama yang disyariatkan Nabi saw.
Kemudian pada tahun 10H, Nabi saw. melaksanakan haji Wada’, dan beliau wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 11H. Artinya Nabi saw. sudah tidak menjumpai bulan Dzulhijjah di tahun 11H itu.
Dengan demikian informasi bahwa Nabi saw. berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah itu dilaksanakan hanya sekali, yakni satu tahun sebelum haji Wada’, bukan dilakukan berulang-ulang.
Puasa Arafah, Hari atau Tanggal
Sejarah syariat puasa Arafah dapat dicermati hadits-hadits berikut ini:
Hadits Maimunah
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: (إِنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِي صِيَامِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ) (فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ صَائِمٌ, وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَيْسَ بِصَائِمٍ) (فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِإِنَاءٍ فِيهِ لَبَنٌ) (وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ بِعَرَفَةَ عَلَى بَعِيرِهِ) (فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ)
Maimunah (istri Nabi) ra. berkata: (Umat ragu perihal puasa Nabi di hari Arafah) (sebagian berpendapat beliau berpuasa, dan sebagian lainnya berpendapat tidak berpuasa) (Lalu aku menyuruh Umu Fadhal memberi beliau secangkir susu) (waktu itu Nabi sedang berkhotbah di Arafah di atas untanya) (Lalu beliau meminumnya dan umat menyaksikannya).
HR Bukhari: 1578, 1888, 5282; Muslim: 1123, 1124; Abu Dawud: 2441; Tirmidzi: 750; Ahmad: 26924.
Atsar Ibnu Umar
وَعَنْ أَبِي نَجِيحٍ يَسَارِ اَلْمَكِّي قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ، فَقَالَ: حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمْ يَصُمْهُ
Abu Najih (Yasar) al-Makki berkata: Ibnu Umar ditanya tentang puasa Arafah ketika berada di Arafah. Ia menjawab: Aku haji bersama Nabi dan beliau tidak berpuasa. Aku haji bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa. Aku haji bersama Umar dan ia tidak berpuasa. Aku juga haji bersama Utsman dan ia tidak berpuasa.
HR Ibnu Hibban: 3604; Tirmidzi: 751; Nasai (dalam Kubra): 2838; Ahmad: 5080.
Adapun syariat berpuasa Arafah bagi yang tidak berada di Arafah adalah sebagai berikut:
Hadits Abu Qatadah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ, إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ, وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
Dinarasikan Abu Qatadah ra., Rasulullah saw. bersabda: Puasa Arafah aku berharap Allah mengampuni setahun sebelum dan setahun sesudahnya.
HR Muslim: 1162; Abu Dawud: 2425; Tirmidzi: 749; Ahmad: 22674.
Hadits Abu Qatadah
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ, مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً، وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ, يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
Dinarasikan Abu Qatadah ra., Rasulullah saw. bersabda: Puasa Arafah melebur dosa dua tahun, tahun kemarin dan tahun berikutnya, puasa Asyura menghapus setahun sebelumnya.
HR Ahmad: 22588.
Sesungguhnya akar perselisihan waktu pelaksanaan puasa Arafah bertumpu pada ‘hari saat wukuf di Arafah’ atau ‘tanggal wukuf di Arafah’.
Jika yang dimaksudkan adalah puasa ‘hari Arafah’, maka pada hari itu semua umat sedunia disyariatkan berpuasa. Pemahaman seperti ini tidak mungkin dapat dipraktekkan, karena pada hari yang sama suatu negara bisa menjalaninya, namun di belahan bumi lainnya tidak mungkin dapat menjalaninya.
Jika yang dimaksudkan ‘tanggal wukuf di Arafah’, maka bergantung setiap wilayah menentukan kapan jatuhnya tanggal tersebut.
Puasa hari yang kesembilan (tanggal 9) Dzulhijjah dan berhari raya Kurban pada hari yang kesepuluh (pada tanggal 10) Dzulhijjah sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelum disyariatknya ibadah haji. Awalnya tidak dikenal puasa Arafah, karena wukuf umat terdahulu berlokasi di Masy’aril Haram.
Lalu di masa Rasulullah pelaksanaan wukuf disempurnakan ke Arafah. Maka sejak itulah lahir syariat puasa Arafah. Karena syariat haji pada awalnya diturunkan Allah kepada Nabi Ibrahim yang akhirnya diwarisi generasi ke genarasi sampai pada kedatangan Rasulullah SAW.
Dengan demikian tidak heran ketika para sahabat diajak pergi haji, mereka mempertanyakan, apakah saat wukuf di Arafah juga masih disyariatkan berpuasa Arafah?
Tidak disangsikan dalam proses manasik haji Rasulullah memulai Tarwiyah pada hari yang kedelapan (tanggal 8) dan wukuf di Arafah pada hari yang kesembilan (tanggal 9). Artinya, hari Tarwiyah itu jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah sedangkan wukufnya jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Itulah sebabnya, wukuf tidak mungkin dilakukan sebelum merukyat awal bulan Dzulhijjah, kapan jatuhnya tanggal 1 bulan Dzulhijjah. Jika sudah diketahui, maka barulah bisa ditentukan kapan hari Tarwiyah dan kapan pula hari wukuf di Arafah.
Catatan Akhir
Bagi yang memahami rangkaian ritual haji itu bergantung pada kalender, maka akan muncul konsistensi, puasa Arafah melakukan pada hari kesembilan (tanggal 9) Dzulhijjah, berhari raya Adha pada hari kesepuluh (tanggal 10) Dzulhijjah. Yakni bergantung pada penetapan setiap wilayah.
Itulah sebabnya ditemukan tujuh ayat al-Qur’an (al-Baqarah: 189; Yunus: 5; al-Isra’: 12; al-An’am: 96; al-Rahman: 5-7; al-Anbiya’: 33; Yasin: 39-40 dan hadits Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Prediksikanlah hilal Sya’ban untuk memasuki awal Ramadhan”. HR Hakim: 1548; Tirmidzi: 687; Baihaqi: 7729; Thabrani dalam Ausath: 8242 yang memerintah umat merukyat hilal ‘dengan media ilmu hisab’, agar mereka dapat mengetahui waktu-waktu manasik haji.
Sebagaimana firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni, artikel ini kali pertama dimuat majalah Matan dengan judul Kapan Puasa Arafah?