Sama karena Kebetulan
Kesamaan hari Arafah dan Idul Adha antara Arab Saudi dan Muhammadiyah tahun ini hanya kebetulan karena bukan ditetapkan berdasarkan metode yang sama.
Arab Saudi masih memakai rukyat dan Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki. Karena itu beberapa kali, di tahun sebelumnya, terjadi perbedaan penetapan dua hari tersebut.
Berbeda dengan beberapa ormas yang memakai hari pelaksanaan wukuf di Padang Arafah sebagai pedoman puasa Arafah dan esoknya sebagai Idul Adha di Tanah Air.
Alasannya, puasa Arafah sangat terkait dengan peristiwa wukuf di Arafah sehingga puasa tersebut harus dilaksanakan bersamaan dengan saat wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.
Selain alasan itu, ada kelompok yang mencita-citakan Tanah Suci di Arab Saudi: Mekah dan Madinah, sebagai pusat ibadah umat Islam dunia. Sebagai konsekuensinya, tidak hanya hari Arafah dan Idul Adha yang harus sama, melainkan juga Idul Fitri.
Muhammadiyah tidak demikian. Untuk menetapkan hari Arafah dan Idul Adha, Persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tetap berpedoman pada hasil hisabnya sendiri. Karena itu, di lain waktu akan berpotensi menimbulkan perbedaan.
Seperti disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, bahwa hari Arafah itu bukan hari ketika jamaah haji wukuf di Arafah, tetapi hari Arafah itu tanggal 9 Dzulhijjah.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu berargumen secara historis. Nabi SAW menerima wahyu haji tahun ke-6 hijrah. Sementara Nabi baru haji tahun ke-9 setelah hijrah. Berarti tiga tahun setelah menerima wahyu itu baru haji. Sementara pada saat itu sudah ada ajaran tentang puasa Arafah. Sehingga sebelum ada haji sudah ada puasa Arafah, sudah ada hari Arafah.
Argumentasi lain pernah disampaikan Nadjib Hamid. Dia mengatakan, jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jamaah haji tidak bisa wukuf di Padang Arafah, bukankah tidak membatalkan adanya puasa Arafah?
Apa yang dikatakan Najdib itu hampir menjadi kenyataan saat terjadi pandemi Covid-19. Dua tahun ibadah haji tidak berjalan normal karena hanya boleh diikuti warga setempat dan ekspatriat dengan jumlah jamaah terbatas. Artinya kemungkinan suatu waktu tidak ada pelaksanaan haji masih masuk akal. Baca juga pendapat Dr Zainuddin MZ di sini!
Baca selengkapnya di halaman 2: Sarat Berkah