Kisah Masa Kecil
Mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu lalu berkisah tentang masa kecilnya.
“Bapak saya wafat ketika saya masih dalam kandungan dan beberapa hari sebelum lahir. Jadi kalau saya berhubungan dengan Anda semua ini maka ini berhubungan dengan sesama anak yatim. Pada 5 Juni 2022 yang lalu saya telah sempurna menjadi yatim piatu, karena ibu saya wafat,” ujarnya.
Saad mengatakan, dalam perjalanan hidupnya, anak-anak yang kehilangan orangtua—terutama kalau yang hilang bapaknya—sejak kecil sudah menghadapi banyak situasi dengan merasa tnpa ada yang mem-back up.
“Sehingga kemandirian itu biasanya muncul menjadi bagian dari perjalanan hidup. Itu karena sejak kecil harus mandiri. Termasuk menghadapi banyak orang dan banyak pihak. Termasuk mengarungi hidup waktu kecil menjalani seperti itu,” jelasnya.
Saad menuturkan dirinya dulu tidak masuk dalam panti asuhan. Jadi kalau soal hidup, mungkin lebih enak santri yang di panti asuhan Muhammadiyah dan Aisyiyah.
“Saya dulu juga pencari kayu bakar di hutan. Kalau ada orang panen, itu ada istilahnya ngasak. Kadang ngasak telo. Jadi setelah diambili oleh yang punya, maka kita cari sisa-sisanya,” kisahnya.
“Juga rajin membantu ibu. Ketika itu tentu belum ada kamar mandi di rumah, sehingga harus menimba mencari air untuk mandi, memasak dan mencuci,” imbuhnya.
Akibatnya, ujar Saad, dirinya punya banyak keterampilan. Sehingga ketika bersekolah dan kuliah, tidak segan atau canggung menyapu halaman tempat kos.
“Mungkin karena hal-hal seperti itu sehingga saya merasa lebih dekat dengan bapak kos termasuk famili. Termasuk mangga kalau matang diperbolehkan untuk mengambil. Jadi secara tidak langsung saya telah belajar bagaimana menghadapi orang, termasuk menghadapi bapak ibu kos dengan baik,” terangnya.
Banyak Ngomong Bakat Penyiar
Jadi dengan kata lain, jangan karena Anda anak yatim, sampai sekarang kemudian sudah diurus Muhammadiyah, kemudian tidak ringan tangan. Maka harus tetap ringan tangan. Dan itu adalah bagian dari takdir yang sampeyan buat untuk masa depan. Jadi setiap orang itu pada dasarnya membuat takdirnya sendiri untuk masa depannya.
“Sekadar contoh saja, kalau di acara seperti ini, Anda ngomong sendiri, itu juga membikin takdirnya ke depan. Takdirnya akan bekerja di dekat sini, TVRI sebagai penyiar. Penyiar itu kan ngomong sendiri ya,” dia menyindir.
“Termasuk Sampeyan yang ngantukan itu juga bikin takdir sendiri, kemungkinan besar nanti akan menjadi anggota dewan. Nah yang memperhatikan betul, yang mencatat dan kemudian berpikir, umumnya akan menjadi guru atau dosen,” candanya disambut tawa peserta.
“Jadi ketika saya mengajar, saya sampaikan hal itu kepada mahasiswa. Maka pekan berikutnya sebagian besar, 90 persen mahasiswa saya ngantukan semua. Rupanya semuanya ingin menjadi anggota dewan,” kembali tawa peserta pecah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni