PWMU.CO – Mengapa Wukuf di Arafah Disebut Puncak Ibadah Haji? Hari ini, 9 Dzulhijjah 1443 atau 8 Juli 2022, seluruh jamaah haji melakukan ibadah wukuf di Padang Arafah. Sebagian mereka miqat haji dari Mekah lalu berangkat langsung ke Padang Arafah. Sebagian lagi berangkat dari Mina karena melaksanakan tarwiyah pada 8 Dzulhijjah.
Wukuf disebut sebagai puncak ibadah haji. Nabi Muhammad SAW mengatakan alhajju arafatun. Haji adalah arafah. Artinya, yang disebut haji adalah berdiam diri di Padang Arafah seetelah shalat Dhuhur hingga Maghrib.
Wukuf menjadi rukun haji yang tak bisa ditinggalkan. Tidaklah sah haji tanpa wukuf. Oleh karena itu semua jamaah, termasuk yang sakit, harus dibawa ke Padang Arafah, sekalipun harus ditandu.
Puncak Ibadah
Wukuf adalah puncak ibadah haji. Sama dengan iktikaf, berdiam diri di masjid, sebagai puncak ibadah puasa Ramadhan. Sedangkan tumakninah adalah diam sejenak dalam gerakan yang juga menjadi puncak ibadah shalat. Tumakninah adalah rukun shalat.
Ketiganya: wukuf, iktikaf, dan tumaninah, pada hakikatnya adalah diam. Artinya puncak ibadah dalam Islam ternyata diam. Diam agar bisa berkomunikasi langsung dengan Allah.
Maka saat wukuf inilah jamaah haji berdiam diri. Diam. Benar-benar diam. Abdul Aziz dalam buku Berhaji kepada Allah (Kanzun Book, Cetakan I Juni 2012) menggambarkan bagimana dia dalam wukuf: diam sejati.
“Diam yang bukan lamunan kosong. Diam yang bukan menghayal. Tetapi diam yang total mengistirahatkan sementara aktivitas fisik. Semuanya berhenti.
Dengan berhentinya semua aktivitas tersebut maka secara otomatis yang akan aktif bergerak adalah kesadaran rohani yang total terarah kepada sang pemilik langit dan bumi, Allah SWT.
Ruhani kita berkomunikasi dengan Yang Maha Meliputi dan diri kita akan mendapatkan pencerahan dari-Nya.”
Diam dalam wukuf ini sejalan dengan Arafah, nama tempat berdiamnya. Arafah berarti mengenal. Mengenal Allah SWT. Inilah yang dimaksud sebagai puncak ibadah haji: mengenal (kembali) dan berkomunikasi dengan Allah. Bukankah itu pencapaian tertinggi seorang hamba pada Tuhannya. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni, jamaah haji tahun 2017.