Ibadah Haji dan Keistimewaan Ibrahim, Naskah Khutbah Idul Adha 2022; Oleh Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ كَتَبَ عَلَيْنَا الْحَجَّ، وَجَعَلَهُ مُكَفِّرًا لِلذُّنُوْبِ وَاْلآثَامِ، صَغَائِرُهَا وَكَبَائِرُهَا الَّتِيْ تَدَنَّسْنَا فِى مُمِرِّ اْلأَيَّامِ، فَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْعَلاَمُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ وَاْلآنَامِ، فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ، وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى خَيْرِ مَايُرَامُ.
(أَمَّا بَعْدُ) فَيَا مَعَاشِرَ الْحَاضِرِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Allahu Akbar 2X, Walillahi al-Hamd, Hadirin yang Terhormat,
Alhamdulillah, pada tahun ini calon jamaah haji (CJH) dari Indonesia kembali dapat menunaikan ibadah haji. Ungkapan rasa syukur penting karena pada musim haji 2020 dan 2021 tidak ada pemberangkatan CJH ke tanah suci. Itu karena kondisi negeri dan dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Seiring dengan terus membaiknya kondisi dunia, pemerintah Kerajaan Saudi Arabia memberi kuota CJH untuk negeri tercinta. Meski demikian, kuota CJH belum kembali normal sebagaimana sebelum pandemi.
Berhaji ke Baitullah merupakan idaman bagi setiap pribadi Muslim. Itu jelas sangat beralasan karena orang yang menunaikan ibadah haji berarti telah menyempurnakan rukun Islam. Kesempurnaan dalam beragama jelas memberikan kepuasan batin tersendiri. Apalagi jika ibadah haji yang dijalani berhasil mengantarkan seseorang pada derajat haji mabrur, haji yang diterima Allah. Ibadah haji juga selalu memberikan pengalaman keagamaan yang terasa begitu mendalam.
Pesan untuk Tamu Allah
Allah memanggil para jamaah haji dengan sebutan tamu Allah (wafdullah). Panggilan ini terasa begitu menyentuh hati nurani kita sebagai pribadi Muslim. Dengan panggilan sebagai tamu Allah berarti Allah sendiri yang akan menjadi tuan rumah. Karena itulah dikatakan bahwa para jamaah haji itu berkunjung ke rumah Allah (Baitullah [Ka’bah]). Itu berarti bahwa sebagai tuan rumah, Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi para jamaah haji. Berkaitan dengan keistimewaan jamaah haji sebagai tamu Allah, Rasulullah bersabda;
اَلْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنِ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَ لَهُمْ
Orang yang berhaji dan berumrah (ke Baitullah) adalah tamu Allah, jika mereka berdo’a dikabulkan Allah, dan jika mereka meminta ampun diampuni Allah (HR al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Dalam sabda yang lain, Rasulullah menyatakan bahwa haji yang mabrur itu, pahalanya tiada lain kecuali surga. Disebutkan pula bahwa pahala orang yang berhaji itu sama dengan berjihad di jalan Allah (fi sabilillah). Karena itu dapat disimpulkan bahwa haji merupakan ibadah yang sangat mulia. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda;
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Siapa yang mengerjakan haji, tidak melakukan hal-hal yang rafats (berkata yang tidak senonoh sehingga menimbulkan birahi atau berkaitan dengan seks) dan tidak pula fusuq (melanggar peraturan haji), maka ia kembali suci dari dosa bagai ia lahir dari ibunya (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Beberapa keutamaan yang dikemukakan Rasulullah memberikan keyakinan bahwa haji merupakan ibadah yang penting. Karena itu, tidak mengherankan jika kita menyaksikan bahwa ada peningkatan yang luar biasa dari umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Itu terlihat dari daftar panjang antrian CJH. Antrian panjang calon jamaah haji merupakan fenomena yang patut disyukuri. Sebab, itu berarti kesadaran dalam beribadah di kalangan umat mengalami peningkatan.
Disamping itu, kesejahteraan umat juga menunjukkan perbaikan yang antara lain diwujudkan melalui kemampuan untuk melunasi biaya ibadah haji. Tidak hanya biaya, ibadah haji juga mempersyaratkan kemampuan fisik, kesiapan mental spiritual, dan jaminan keamanan. Karena persyaratan yang begitu ketat maka Allah menyatakan bahwa ibadah haji itu hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah. Allah berfirman;
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta (Ali ‘Imran/3: 97).
Pesan selanjutnya untuk jamaah haji adalah agar datang dengan membawa bekal yang cukup. Allah menjelaskan bahwa sebaik-baik bekal yang dibawa jamaah haji adalah takwa. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa takwa merupakan kumpulan dari nilai-nilai keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan dan kelemahannya di hadapan Allah. Allah berfirman;
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal (al-Baqarah/2: 197).
Allahu Akbar 2X, Walillahi al-Hamd, Hadirin yang Terhormat,
Napaktilas Perjalanan Ibrahim
Secara keseluruhan ibadah haji itu tidak dapat dilepaskan dari figur Nabi Ibrahim. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa apa yang dijalankan para jamaah haji adalah dalam rangka menapaktilasi apa yang dulu pernah dilaksanakan Nabi Ibrahim. Itu berarti sesungguhnya para jamaah haji sedang bermain peran. Lakon yang dimainkan adalah perjalanan ruhani Nabi Ibrahim hingga mencapai kesempurnaan hidup sebagai hamba Allah SWT. Pertanyaannya, apakah setiap jamaah haji berhasil menjalankan peran yang dimainkannya? Jawabannya berpulang pada kemampuan jamaah haji dalam menghayati peran masing-masing.
Tetapi, umumnya jamaah haji berhasil memerankan perannya dengan baik. Buktinya, tidak pernah terdengar ada jamaah haji yang “kapok” berkunjung ke Baitullah. Yang terjadi justru sebaliknya, selalu muncul kerinduan yang mendalam di hati sanubari jamaah haji untuk berkunjung kembali ke Baitullah sebagai tamu Allah. Karena ibadah haji itu laksana permainan, maka bekal ketakwaan menjadi sangat penting. Sebab, jika tidak berbekal takwa maka para jamaah haji pasti akan bertanya-tanya, bahkan mungkin tertawa, tatkala menjalani keseluruhan proses ibadah haji.
Betapa tidak, protokoler dalam ibadah haji mengharuskan para tamu Allah mengelilingi Baitullah (thawaf), berjalan mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwa (sa’i), berkumpul di Arafah (wuquf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), menggunting atau mencukur rambut (tahalul), mencium batu hitam (hajar aswad), pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki tidak boleh menutup mata kaki, dan apabila pakaian telah dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu pun bila dilakukan akan dikenai denda. Lebih-lebih jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tumbuh-tumbuhan.
Prosesi ibadah haji yang demikian jika tidak dihayati sebagai bagian dari perintah Allah tentu akan mengundang pertanyaan. Karena itulah yang pertama kali perlu diluruskan adalah niat. Para jamaah haji harus menata niat. Harus diyakini, bahwa ibadah haji itu merupakan bagian dari proses menuju kesempurnaan dalam beragama. Dengan berbekal niat yang lurus maka para jamaah haji akan menyadari bahwa apa yang dilihat dan dilakukan merupakan simbol-simbol yang sarat makna. Apabila semua itu dihayati dengan baik maka akan mampu mengantarkan jamaah haji dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah.
Baitullah yang mengarah ke segala penjuru jelas melambangkan bahwa Allah berada dimana saja. Ketika kesadaran ini muncul maka para tamu Allah tanpa segan akan mencium, atau paling tidak melambaikan tangan ke Ka’bah. Berpakaian serba putih (pakaian ihram), jika dipahami dengan baik dapat menanamkan kesadaran mengenai persamaan manusia di hadapan Allah. Para tamu Allah diajarkan untuk menanggalkan pakaian kebesaran yang seringkali melahirkan sikap angkuh dan sombong di hadapan orang lain. Pakaian kebesaran juga dapat membedakan status sosial antar pribadi. Pakaian ihram yang digunakan para tamu Allah jelas melambangkan persamaan dan tiadanya perbedaan antar umat manusia kecuali derajat ketakwaannya.
Allahu Akbar 2X, Walillahi al-Hamd, Hadirin yang Terhormat,
Keistimewaan Ibrahim
Ibadah haji tidak dapat dipahami secara baik jika kita tidak mengenal sosok Nabi Ibrahim dan keistimewaan yang dimilikinya. Profesor Quraish Shihab dalam Lentera Hati (2000) menjelaskan bahwa ada tiga macam keistimewaan yang dimiliki Nabi Ibrahim dan sekaligus dicerminkan dalam ibadah haji.
Pertama, Ibrahim menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman ruhani yang luar biasa. Pengalaman ruhani Ibrahim tatkala menemukan pelajaran tauhid itu secara metaforis dapat dibaca dalam al-Qur’an Surat al-An’am (6) ayat 76-79. Selain yang terekam dalam al-Qur’an, juga dikisahkan bahwa telah terjadi perdebatan sengit antara Ibrahim dengan penguasa pada masanya. Penguasa pada masa itu, yang menyembah api, berkata pada Ibrahim; “Jika engkau enggan menyembah patung, mengapa tidak menyembah api?”
Ibrahim menjawab; “Bukankah air dapat memadamkannya?”
Penguasa pun berkata; “Kalau begitu mengapa tidak menyembah air?”
Ibrahim menjawab; “Bukankah awan yang mengandungnya lebih layak disembah?”
Penguasa pun berkata; “Kalau demikian sembahlah awan!”
Ibrahim menjawab; “Angin yang menggiring awan lebih kuasa!”
Penguasa pun berkata; “Kalau demikian mengapa tidak menyembah angin?”
Ibrahim menjawab; “Manusia yang menghembuskan angin dan menariknya lebih layak!”
Dialog itu pun terhenti, karena terasa cukup bukti bahwa manusia apabila mau merenung dan berpikir dengan cermat pasti akan sampai pada keyakinan tentang keesaan Tuhan. Ajaran ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang dikumandangkan Ibrahim jelas sangat fundamental. Tuhan yang dimaksud Ibrahim adalah Tuhan sekalian alam, bukan Tuhan satu ras atau bangsa, juga bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu.
Kedua, melalui Ibrahim kebiasaan mengorbankan manusia sebagai sesaji atau tumbal dibatalkan oleh Allah. Mengenai kisah penyembelihan Ismail oleh Ibrahim dapat kita baca dalam al-Qur’an Surat al-Shaffat (37) ayat 100-107. Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya kurban yang dianjurkan pada setiap hari raya haji. Nabi Muhammad bersabda;
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ
Tidak ada pekerjaan anak Adam yang paling disenangi Allah pada hari ‘Idul Adlha selain menumpahkan darah [menyembelih hewan kurban] (HR al-Tirmidzi).
Ketiga, Ibrahim merupakan satu-satunya nabi dan rasul yang bermohon pada Allah agar ditunjukkan cara membangkitkan kembali orang-orang yang sudah mati. Dan, permohonan Ibrahim pun dikabulkan oleh Allah. Kisah mengenai hal ini dapat kita baca dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2) ayat 260;
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata; “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman; “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab; “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman; “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu.” (Allah berfirman); “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Dan, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Tiga keistimewaan Nabi Ibrahim itu sekaligus menjadi pesan penting ibadah haji, yakni: meneguhkan tauhid, mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, dan meyakini Hari Akhir (kiamat). Seseorang yang tauhidnya kokoh biasanya diikuti dengan usaha-usaha untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi harus diakui, sekuat apapun kita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini, selalu meninggalkan ketaksempurnaan. Sebagai contoh, kita menginginkan tegaknya keadilan sebagai bagian yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tetapi, keadilan yang kita perjuangkan itu terkadang tidak kunjung terwujud. Di sinilah kita penting meyakini akan datangnya Hari Akhir atau Hari Pembalasan. Keyakinan ini terasa sangat fundamental bagi orang yang beriman. Pada Hari Akhir itulah setiap hamba akan mendapatkan balasan yang seadil-adilnya. Karena pada hari itu yang menjadi hakim adalah Sang Maha Adil, yakni Allah, Tuhan yang tidak membutuhkan apapun dari alam semesta ini.
Allahu Akbar 2X, Walillahi al-Hamd; Hadirin yang Terhormat,
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah dengan harapan agar saudara-saudara kita yang pada tahun ini berkesempatan menjadi tamu Allah dapat menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya, selalu diberikan kesehatan, dan pulang kembali ke kampung halaman dengan memperoleh derajat haji mabrur. Sementara kita yang belum berkesempatan diundang Allah untuk berkunjung ke Baitullah, semoga dengan ikhtiar dan kerja keras yang kita lakukan, pada saatnya kita akan menjadi tamu Allah. Marilah kita akhiri khutbah ‘Idul Adlha ini dengan berdoa;
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ خَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ.
Editor Mohammad Nurfatoni