SDMM Intensifkan Penerapan Kelas tanpa Tata Tertib

Suasana pembinaan guru SDMM tentang penerapan kelas tanpa tata tertib dan penyelenggaraan pendidikan inklusif (Ahmad Nazaruddin/PWMU.CO)

SDMM Intensifkan Penerapan Kelas tanpa Tata Tertib; Liputan Muhammad Ilham Yahya, kontributor PWMU.CO Gresik.

PWMU.CO – SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik mengadakan pembinaan guru, Senin (4/7/22). Sebagai pamateri adalah Ria Eka Lestari SSi, Penanggung Jawab Bimbingan dan Konseling (BP) SDMM.

Pembinaan hari itu terbagi menjadi dua sesi. Pertama membahas tentang penerapan kelas tanpa tata tertib. Kedua membahas tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Tari, sapaannya, mengatakan, materi kelas tanpa tertib ini sudah pernah menjadi bahan diskusi di SDMM sebelumnya. Namun pada hari itu, pembahasan difokuskan kepada ustadz-ustadzah agar bisa mengajak siswa dan wali siswa untuk berdiskusi menyusun komitmen kelas secara bersama-sama. 

“Sebenarnya komitmen dan konsekuensi logis itu sudah mulai diterapkan di SDMM pada tahun 2021/2022 sebagai uji coba di kelas IV Bima Sakti. Langkah ini diterapkan sebagai salah satu program dalam Satuan Pendidikan Ramah Anak,” ujarnya kepada PWMU.CO.

SDMM ditetapkan secara resmi sebagai Satuan Pendidikan Ramah Anak—atau populer dengan SRA (sekolah ramah anak) melalui Surat Keputusan (SK) Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik No 421/9629/437.53/2021 tentang Penetapan Inisiasi Satuan Pendidikan Ramah Anak Tahun 2021.

Tari menjelaskan, tahun pelajaran 2022/2023 ini, SDMM melalui BP mempunyai inisiatif mengundang beberapa wali siswa tiap jenjangnya. Mereka menjadi perwakilan untuk diajak berdiskusi menyusun komitmen kelas yang bisa disepakati bersama, antara ustadz-ustadzah, siswa, dan wali siswa. 

“Ketiga pihak ini akan menyusun bersama tentang komitmen sebelum memulai pembelajaran, saat pembelajaran, dan sesudah pembelajaran,” ujarnya. 

Dia berharap agar setiap komitmen dan konsekuensi logis di setiap jenjang bisa dibentuk dalam kertas besar yang dihias kemudian ditempelkan di mading kelas, dengan harapan mudah dibaca siswa. 

Ia menambahkan, konsekuensi logis berbeda dengan hukuman. “Hukuman hanya dijatuhkan sebagai vonis atas perilaku, sedangkan konsekuensi logis adalah akibat yang sudah diketahui dan disepakati sebelumnya atas pilihan anak,” ungkapnya.

Konsekuensi logis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jika merusak maka memperbaiki, jika mengabaikan suatu kewajiban maka kehilangan hak, dan jika mengganggu maka akan diberikan jeda atau positif time out.

Baca sambungan di halaman 2: Penerapan Pendidikan Inklusif

Suasana pembinaan guru SDMM tentang penerapan kelas tanpa tata tertib dan penyelenggaraan pendidikan inklusif. SDMM Intensifkan Penerapan Kelas tanpa Tata Tertib (Ahmad Nazaruddin/PWMU.CO)

Penerapan Pendidikan Inklusif

Untuk materi pada sesi kedua, Ria Eka Lestasi mengajak para guru belajar mengenai penerapan pendidikan inklusif. Dia mengawali dengan menjelaskan tentang apa itu pendidikan inklusif (PI). 

Menurutnya, PI merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Termasuk di dalamnya adalah peserta didik penyandang disabilitas dan memiliki potensi kecerdasan istimewa. 

“Pembelajaran dilakukan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Keberagaman dalam pembelajaran saat ini lebih bisa dipahami dan dimaklumi,” terangnya.

Tari mnerangkan, keberagaman peserta didik terbagi menjadi dua jenis. Pertama peserta didik berkebutuhan khusus temporer. Contohnya korban kekerasan seksual, korban bencana, anak yang tinggal di daerah 3T, atau anak yang mempunyai tekanan ekonomi. 

Kedua peserta didik berkebutuhan khusus permanen. Contohnya hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan intelektual, hambatan fisik, dan yang lainnya. 

Dia juga menjelaskan beberapa prinsip pendidikan inklusif yaitu, pemeratan, kebutuhan individual, kebermaknaan, keberlanjutan, dan keterlibatan. 

Sebelum pembinani usai, Tari mengajak para guru SDMM untuk berlatih dan mencoba menggunakan instrumen identifikasi peserta didik berkebutuhan khusus. 

Selanjutnya para guru diharapkan mampu menggunakan instrumen tersebut sebagai langkah pendeteksian awal kondisi siswa pada masing-masing kelasnya. 

“Instrumen identifikasi tersebut untuk mendeteksi secara dini peserta didik yang mengalami tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ADHD, slow learner, dan siswa cerdas istimewa,” ujarnya. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version