Trilogi: Iman, Ilmu, Amal
Prof Haedar pun mengurai satu per satu trilogi itu. Pertama, iman, pondasi yang kokoh kaum beriman atau umat Muslim. “Kita paham rukun iman, kita meyakininya, bahkan menjadikannya sebagai kunci kita beragama,” ujarnya.
Tinggal sekarang ini, kata Prof Haedar, bagaimana menjadikan iman sebagai gaya hidup kita baik dalam dimensi yang bersifat diniyah maupun yang bersifat muamalah dumiawiyah.
“Bagaimana menjadikan iman itu sebagai ruh yang selalu mengontrol hidup kita, membawa arah hidup kita, agar selalu berada di jalan-Nya, dalam hidayah-Nya, dalam taufik-Nya, dan dalam shiratal mustaqim-Nya,” imbuhnya.
Kedua, ilmu. Sekian banyak PAUD hingga perguruan tinggi yang Muhammadiyah dirikan, menurutnya, untuk melahirkan generasi ulul albab.
“Generasi yang punya tradisi iqra. Di mana iqra-nya tidak sembarang iqra. Tapi iqra yang berbasis pada tauhid, teosentrisme Islam. Islam yang berbasis pada nilai-nilai prophetic kenabian,” terangnya.
Maka Kiai Ahmad Dahlan bersama Muhammadiyah, sambung Prof Haedar, memelopori lahirnya sistem pendidikan Islam modern yang mampu memadukan iman dan kemajuan.
“Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, di pondok pesantren Muhammadiyah, di boarding school Muhammadiyah, semua orang diajarkan multiaspek. Diajarkan ilmu pengetahuan umum, baik yang sosial maupun eksakta, yang juga dikoneksikan dengan ilmu-ilmu agama,” jelasnya.
Ketiga, amal shalih. Melalui telogi al-Maun, kata Prof Haedar, Kiai Dahlan ingin membongkar kesadaran yang mati. “Bahwa al-Quran hanya dihafal. Al-Quran hanya dimaknai artinya secara terbatas, tapi tidak menggerakkan kehidupan dan juga tidak menjadi pemandu kehidupan,” ungkapnya.
“Maka sejak itu lahirlah rumah sakit, rumah yatim, tempat orang miskin disantuni dan diberdayakan. Yang kemudian menjadi gerakan kesehatan, sosial, masyarakat. Itu merupakan karakter khas pembaruan Kiai Dahlan di samping yang lain!” tambahnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni