Tahan Marah dan Beri Maaf
Ciri kedua, menahan marah. Prof Haedar menyadari itu tidak mudah. “Marah itu wajar, alamiah. Manusia diberi rasa marah. Tapi bagaimana marahnya orang beriman itu harus beriman harus berbeda dengan marahnya orang kurang beriman,” tuturnya.
Kepada ada orang-orang yang mengaitkan kemarahan dengan temperamen diri—seperti berpikir memang punya bawaannya pemarah—Haedar meluruskan, “Kok bangga bawaannya pemarah?”
“Bawaannya pemarah, harus bisa meluruhkan jiwa pemarah itu sehingga marahnya orang beriman, untuk membela agama sekalipun, itu berbeda! Dalam arti tetap punya jiwa tanwir,” tegasnya.
Ciri terakhir, memberi maaf. Prof Haedar juga memahami ini tak gampang. “Apalagi kalau sudah ada rasa dendam dalam jiwa, itu lihat orang walaupun sesama Muslim, itu bawaannya susah memberi maaf,” ungkapnya.
Dia pun mencontohkan mengelola nafsu yang hidup dalam diri. “Orang yang tidak kita sukai, walaupun satu agama, jangankan ketemu orangnya, bertemu sendal jepitnya saja itu sudah tidak suka,” ujarnya.
Lahirkan Jiwa Muraqabah
Lantas bagaimana tauhid dan iman melahirkan jiwa muraqabah (merasa diri diawasi Allah)? Demikian Prof Haedar bertanya retorik.
Kemudian dia menerangkan, “Insyaallah tidak akan korupsi. Orang korupsi karena ada perpaduan niat dan kesempatan. Orang yang beriman shalatnya baik, hajinya baik, posisi apapun insyaallah dia tidak akan korupsi.”
Sebab, orang itu yakin Allah membersamai dia dan mengawasi dia. Jadi ketika ada kesempatan untuk menyeleweng, tidak akan pernah dilakukan. Begitulah yang menurut Prof Haedar akan melahirkan pengendalian diri yang luar biasa, sehingga iman juga disebut pengawasan melekat.
Prof Haedar menyimpulkan, “Jadi kalau di negeri ini mayoritasnya Muslim, pemimpinnya Muslim, tapi korupsinya masih tinggi, iman dan tauhidnya belum teraplikasi membentuk jiwa muraqabah“
Baca sambungan di halaman 3: Aktualisasikan Iman