Aktualisasikan Iman
Dia pun menegaskan, iman juga harus teraktualisasi dalam relasi sosial sehari-hari. “Termasuk ketika kita harus membantu sesama, membela orang yang tertindas,” imbuhnya.
Hal ini Prof Haedar perkuat dengan mengutip salah satu pesan dalam al-Quran, “Tidak disebut orang itu beriman sampai dia terbukti mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya. Dia akan membela saudaranya atau sesamanya, Allah akan membela.”
“Jadi sekarang perlu ada gerakan iman dan mengaktualisasikan keimanan itu sebagai pemandu kehidupan kita baik dalam beragama, maupun dalam kehidupan sehari-hari kita, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Kalau itu yang terjadi, sambungnya, iman akan menjadi pilar utama al-Madinah al-Munawarah. Itulah yang membedakan peradaban Islam dengan peradaban lain yang sekuler.
“Peradaban lain yang sekuler bisa maju dari pengembangan iptek, kemajuan berpikir, ekonomi, dan sebagainya. Tapi perkembangan itu lepas dari hablum min Allah, karena urusannya hanya urusan hablum min an-nas,” jelas dia.
Maka dalam kemajuan itu, kata Prof Haedar, termasuk dalam kemajuan hak asasi manusia misalnya, segalanya dibolehkan. “LGBT boleh, ateis juga boleh. Itu karena kemajuannya hanya bersifat antroposentrisme, berpusat pada duniawi semata,” ungkapnya.
Tetapi sebaliknya juga, iman yang statis bahkan mati, hanya jadi dogma kita dan tidak menyinari kehidupan. “Sehingga tidak melahirkan agama yang melahirkan al-Madinah al-Munawarah,” imbuhnya.
Dia lantas mengajak jamaah belajar dari yang Nabi Muhammad SAW contohkan selama 23 tahun. Bahkan setelah itu, lanjutnya, berabad-abad lamanya, umat Islam memberi contoh peradaban Islam yang jaya, disebut era keemasan Islam.
“Peradaban, ilmu pengetahuan maju, bahkan lahir tokoh-tokoh Islam. Ahli teologi ada al-Farabi, ahli sosiologi ada Ibn Khaldun, ahli filsafat dan kedokteran ada Ibn Rusyd. Semua kita sebut tokoh dunia, lahir dari Islam yang membawa pencerahan! Itu karena Islam menjadi ruh kehidupan,” jelasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni