Etos Berubah Jadi Lebih Baik
Prof Haedar mengungkap, Islam berkemajuan dalam perspektif Muhammadiyah juga mengajarkan untuk melahirkan etos selalu mengubah keadaan menjadi lebih baik. “Yakni etos taghayyarah,” ujarnya, seperti pada penggalan surat ar-Ra’d ayat 11.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِهِمۡؕ
Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Dia menekankan, “Kampus ini tidak mungkin berubah menjadi maju jika orang-orang di dalamnya tidak ada keinginan untuk mengubah diri dan kampus ini.”
Begitupula dengan rektor dan Badan Pengurus Harian (BPH) yang tidak bisa berjalan sendiri. “Perubahan ke arah yang maju ke arah lebih baik itu harus tumbuh di dalam diri kita semua yang ada di kampus ini,” tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, Islam menjadi agama yang membawa dan membangun peradaban lebih dari enam abad lamanya. “Karena etos perubahannya itu sudah sedemikian rupa sehingga menjadi agama kosmopolit, mendunia,” imbuhnya.
Kata Prof Haedar, konon ayat itulah yang Bung Karno bacakan ketika pidato di depan PBB untuk mengawali membangun Indonesia pascakemerdekaan. “Soekarno sangat memahami ayat itu karena ia lahir dalam tradisi Muhammadiyah, bahkan tahun 1930an menjadi anggota Muhammadiyah,” ujarnya.
Kata Soekarno, “Islam yang diajarkan Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan itu Islam yang sesuai alam pikiran saya, yakni progresif!”
Etos Orientasi Masa Depan
Selain itu, kata Prof Haedar, Islam berkemajuan menanamkan dalam diri kita orientasi ke masa depan. “Tentang kesadaran futuristik, baik di dunia maupun akhirat,” ungkapnya.
Hal ini didasari surat al-Hasyr ayat 18 dengan asbabul nuzul Bani Mudhar yang tertinggal, miskin, dan sangat terbelakang datang ke Madinah. “Lalu Nabi mengajak sahabat menyantuni mereka untuk menjadi orang berdaya,” kisahnya.
Maka Haedar menerangkan, “Ayat itu menyadarkan kaum Muslimin, masa depan hidup di dunia itu harus diperhatikan ekuivalen dengan ketakwaan. Jadi kesadaran kita tentang masa depan itu setara dengan takwa.”
Dia menyadari, dunia karena bersifat materi kadang menjadikan manusia hina. “Tetapi dunia tidak boleh dibiarkan, harus dikelola, untuk itulah kita jadi khalifah di muka bumi supaya dunia jadi sesuatu yang mulia,” ungkapnya.
Ia menegaskan, “Akhirat dan dunia itu satu kesatuan bagi kita. Kalau mau meraih posisi terbaik di akhirat, ijarah-nya dengan Allah itu harus beramal shalih dan beriman yang terbaik. Jadi membeli surga kata Pak AR tidak bisa dengan harga 500-an.”
“Kalau mau menyumbang, ambil yang optimum dari yang kita miliki karena itu tiket masuk surga. Maka di kampus ini, semua harus berijarah dengan Allah!” imbau Prof Haedar.
Dia lantas mengingatkan, penghasilan, tergantung dua hal, yaitu kesyukuran dan tasaruf. “Biarpun (penghasilan) banyak tapi tasarufnya nggak baik, nanti besar pasak daripada tiang. Maka cukup yang kita terima itu dengan rasa syukur,” tuturnya.
Dia juga menyarankan, di kampus dan AUM, berikanlah apa yang kita miliki dalam bentuk perbuatan kita yang tidak dinilai dengan uang. “Tapi nilailah dengan pahala Allah. Jadi dapat dua-duanya lalau di Muhammadiyah, ajrah uzrah dapat, dapat akhirat dan dunia,” terangnya.
Dengan itulah, kata Prof Haedar, kita bisa bahagia bermuhammadiyah. Sebab bisa memajukan banyak hal. Al Islam dan Kemuhammadiyaan (AIK) pun menyatuh menjadi AIK yang berkemajuan. Dia menegaskan, tiga etos itulah yang paling dasar dalam hidup orang Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni