Model Terpadu
Model kedua adalah model terintegrasi atau terpadu. Yakni pembelajaran formal dan khas pesantren dilaksanakan secara terintegrasi dalam satu paket.
Kiai Yunus menerangkan, pada model pertama, seringkali materi pesantren dinomorduakan dan hanya dianggap sebagai pelengkap. Kegiatan belajar mengajar (KBM) dan kedisplinan siswa dan ustadz atau ustadzah di pagi hari tinggi, sedangkan di sore hari rendah. Testing materi formal siswa tinggi, sedangkan testing untuk materi pesantren tergolong rendah.
“Dan kalau datang ke pesantren, saya merekomendasikan untuk memberi jam pelajaran agama atau khas pesantren yang proporsional. Paling tidak 22-24 jam per peka (model kedua). Kita tidak ingin ada satu pesantren Muhammadiyah menuju kultur yang ujung-ujungnya pengurangan jam pelajaran khas pesantren,” tuturnya.
Kiai Yunus menyampaikan masalah di bidang kurikulum berikutnya, yaitu mengenai rapor siswa. Dia masih merasakan adanya diskriminasi kepada materi pesantren. Salah satunya masalah rapor. Tampilan fisik rapor formal jauh lebih bagus dibandingkan rapor pesantren.
“Nilai yang dicantumkan di rapor pondok adalah nilai apa adanya. Testing mendapat nilai 10 ditulis 10. Testing mendapat nilai 2 ditulis 2 di rapor. Apa adanya sesuai dengan jiwa pesantren, sehingga akan memberikan efek bagi siswa untuk belajar lebih giat agar mendapat rapor pondok yang bagus,” tegasnya.
Di akhir stadium general, Kyai Yunus mengatakan penerapan Kurikulum Merdeka saat ini memberikan kesempatan yang lebih luas bagi tiap satuan pendidikan untuk mengembangkan muatan lokal yang sesuai dengan ciri khas pesantren.
Dia juga memberikan apresiasi kepada Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Trenggalek yang telah memberi perhatian dan fokus yang luar biasa kepada MBS Trenggalek selama kurang lebih enam tahun sehingga bisa berkembang pesat seperti saat ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni