Damai dengan Israel
Perjanjian damai dengan Israel selalu membawa ongkos mahal. Meski demikian Amerika tidak pernah lelah mencobanya dengan segala risiko. Para pemimpin Arab pun berusaha mencoba meskipun tahu risikonya sangat besar.
Presiden Donald Trump mencoba peruntungannya untuk mendamaikan Israel dengan negara-negara sekitarnya. Ia mengutus menantunya, Jared Kushner yang keturunan Yahudi, untuk menjadi mediator dan negosiator. Kushner berhasil myakinkan Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk berdamai dengan Israel.
Trump mendapat kredit besar dari perdamaian ini. Perdamaian ini disebut sebagai ‘’Abraham Accord’’ atau ‘’Perdamaian Ibrahim’’. Nama ini dipilih untuk merujuk pada Nabi Ibrahim yang menjadi ‘’Bapak Para Nabi’’ dan ‘’Bapak Monoteisme’’ yang menjadi cikal bakal agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Nama itu terlihat bagus dan indah, tetapi menyimpan berbagai risiko sebagaimana perjanjian Camp David yang diprakarsai oleh Carter. Bagi negara barat perjanjian damai dianggap sebagai kemajuan, tapi bagi kalangan Islam militan di Timur Tengah hal itu dianggap kemunduran dan kekalahan.
Kali ini presiden Amerika Serikat, Joe Biden mencoba peruntungan dalam upaya mendamaikan Timur Tengah. Biden mengunjungi Israel dan kemudian mengunjungi Arab Saudi. Biden dikecam karena dianggap menjilat ludah ketika harus mengalah dan bertemu dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), yang sekarang menjadi penguasa de facto Arab Saudi.
Dua Wajah MBS
Di mata Barat, MBS punya dua wajah yang bertentangan. Satu wajah menunjukkan seorang pembaru yang memperkenalkan transformasi Arab Saudi melalui ‘’Visi 2030’’ yang bakal membawa Arab Saudi ke jalan modernitas. Di sisi lain MBS dianggap sebagai seorang despot yang otoriter yang menjalankan kebijakan tangan besi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Dosa terbesar MBS adalah pembunuhan terhadap Jamal Khassoghi, wartawan The Washington Post kelahiran Arab Saudi. Khassoghi membelot ke Amerika dan menjadi pengritik paling keras MBS. Khasssoghi dibunuh ketika mengurus surat administratif ke Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, Oktober 2018.
Biden tahu bahwa MBS sangat berkuasa di Arab Saudi meskipun Pangeran Salman, ayah MBS, secara resmi masih berkuasa. MBS sekarang memegang kendali dan sedang menyusun masa depan Arab Saudi modern sesuai dengan keinginannya.
MBS ingin melepaskan Saudi dari masa lampau yang berhubungan dengan Wahabisme yang dianggap sebagai sumber konservatifme yang menghalangi modernitas Arab Saudi. MBS sudah membuat banyak keputusan yang semakin mendekatkan negaranya untuk berdamai dengan Israel.
Dari hasil kunjungan Biden ini, Israel sudah mendapat izin untuk mempergunakan wilayah udara Arab Saudi untuk penerbangan komersial. Ini merupakan langkah maju yang disebut-sebut akan membawa normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel maju beberapa langkah.
Biden tidak mau kalah dengan Donald Trump maupun Jimmy Carter. Ia ingin mencatat sejarah yang lebih besar dengan memulihkan hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Israel. Jika langkah ini tercapai maka Biden akan menjadi pahlawan yang sudah hampir pasti memenangkan hadiah Nobel Perdamaian.
Tetapi, langkah ini akan membawa konsekuensi besar bagi pemimpin Arab Saudi, terutama MBS. Ia pasti akan menjadi sasaran kemarahan kalangan Islam militan. Tidak tertutup kemungkinan MBS akan ‘’di-firaun-kan’’ seperti Anwar Sadat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni