Bayangkan jika 0,2 Persen Penduduk Menguasai 66 Persen Aset Lahan Nasional!; Oleh Miftahul Ilmi, wartawan majalah Matan, kontributor PWMU.CO
PWMU.CO – Bulan Agustus 2022 ini, bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan ke-77 bertema: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Cepat. Tema ini bisa dimaknai sebagai seruan agar kita bersemangat dan tegak kembali berkarya setelah dua tahun dihajar pandemi Covid-19.
Dalam sudut pandang yang lebih luas, tema itu juga bisa dianalisis, dengan pertanyaan: apa yang mau bangkit? Sebab realitas sosial menunjukkan terjadi kesenjangan antara idealitas dengan realitas, terutama menyangkut sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Alih-alih sila tersebut menjadi acuan sekaligus tujuan hidup berbangsa dan bernegara, yang muncul justru sebaliknya proses: ketidakadilan yang makin kentara di bidang hukum, politik, dan ekonomi.
Yang paling mencolok sudah praktik penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam dan tajam ke bawah. Komodifikasi pasal-pasal dalam putusan pengadilan bukan rahasia lagi. Di bidang politik yang berbiaya tinggi makin menguatkan dinasti dan elite terbatas menguasai simpul-simpul dan akses sumber daya kekuasaan kunci.
Sementara ranah ekonomi telah dikendalikan segelintir pengusaha yang disebut oligarki. Masihkah ada harapan masyarakat ini meluruskan kiblat bangsa?
Sila Yatim Piatu
Prof Ahmad Syafi’i Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) yang wafat pada 27 Mei 2022 lalu bahkan sering menyebut sila Keadilan Sosial sebagai ‘yatim piatu’. Sila yang tidak banyak dipedulikan, tapi sering diucapkan.
Prof Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dekat dengan almarhum menyebut, kritik Buya Syafi’i itu sebagai rasa keprihatinan mendalam yang lahir dari rasa kemanusiaan beliau yang sangat tinggi. Buya Syafi’i juga disebutnya melakukan kritik kepada penguasa bertujuan untuk meluruskan tujuan berbangsa dan bernegara.
Amin menyampaikan hal itu sebagai salah satu pembicara utama dalam acara Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML) di Salihara Art Center, Jakarta Selatan, Selasa (5/7/2022). Kegiatan ini digagas Maarif Institute bekerja sama dengan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) memperingati 40 hari wafatnya Buya Syafii Maarif sekaligus untuk terus menghidupkan dan mengembangkan pikiran sang guru bangsa.
Kegiatan Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML) ini didukung oleh Komunitas Salihara dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertajuk “Pancasila dalam Tindakan: Mengenang Buya Syafii Maarif, Guru Kemanusiaan Penjaga Panggung Kebhinekaan”. Pidato Kebudayaan disampaikan oleh Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sekaigus Anggota Dewan Pengarah BPIP, Prof Dr M. Amin Abdullah.
Menurut Amin, Buya sangat mencintai Indonesia tanpa reserve. Namun, ketika para penyelenggara negara terjebak dalam kubangan lumpur KKN, ia tidak segan-segan teriak keras melontarkan kritik, “Jangan memuja-memuja Pancasila, tetapi mengkhianatinya dalam praktik kehidupan sehari-hari, dengan berbuat KKN sesuka hati, oligarki, dan merusak alam.”
Buya gemas dan sedih sekali melihat jurang antara si kaya dan si miskin di Tanah Air yang masih sangat tajam. Ia menyatakan dari lima sila dalam Pancasila, sila kelima yang paling tertinggal di buritan peradaban. Sila kelima disebut sebagai ‘yatim piatu’ dan paling terlantar. “Itu pesan suci yang tidak mudah diucapkan, namun sangat penting bagi perjalanan bangsa ke depan,” tandas Amin.
Baca sambungan di halaman 2: Kuasa Modal dan Politik Bersatu