Kuasa Modal dan Politik Bersatu
Jika demikian halnya lalu apa maknanya setiap tahun kita memperingati HUT Kemerdekaan? Dr Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta menyampaikan, sejatinya 77 tahun adalah usia yang sangat matang. Dan seyogianya telah mampu melepaskan nasib anak bangsa dari belenggu penderitaan.
Dalam perjalanannya, penjajahan dalam format baru belum mampu kita enyahkan. Keadilan sosial sesuai imperatif sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api. Rakyat kita masih banyak yang belum merdeka. Ketidakadilan merebak di mana-mana.
“Saya ingat pesan Bung Hatta (1975), damai perlu ditegakkan, damai hanya bisa tegak di atas keadilan sosial. Jangan berharap ada perdamaian jika keadilan tidak tegak. Karena itu, fakta-fakta ketidakadilan dan ketimpangan harus diamputasi,” sarannya.
Mukhaer mempertanyakan, bagaimana mungkin kita bisa hidup damai jika pendapatan negara, dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Sementara 80 persen penduduk–atau lebih dari 220 juta orang–rawan tertinggal. Ataukah 50 orang terkaya di Indonesia kekayaannya mencapai sekitar Rp 2.000 triliun. Nilai kekayaan sebesar ini ekuivalen dengan 17 persen dari PDB Indonesia.
Kemudian dalam satu dasawarsa, lanjut Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah itu, bagian 10 persen terkaya di Indonesia menambah konsumsi mereka sebesar 6 persen per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40 persen masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka hanya tumbuh kurang dari 1,6 persen per tahun.
“Ataukah, bagaimana mungkin kita bisa hidup damai, jika tanah (lahan) di Indonesia dikuasai pemilik modal raksasa dan asing? Bayangkan jika 0,2 persen penduduk, menguasai 66 persen aset lahan nasional,” tanyanya penuh keheranan.
Ini artinya, kata Mukhtar, penguasa modal dalam satu entitas oligarki telah menguasai hampir semua kue ekonomi, karena di-support oleh kuasa politik dalam entitas oligarki politik. Dua domain oligarki ini saling membutuhkan (take and give) sehingga menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Jongos Politik dan Ekonomi
Lalu mengapa aspek ini seperti banyak diabaikan padahal menjadi tujuan bernegara? Dalam pandangan Mukhear, ini semua terjadi karena ideologi ekonomi Pancasila tidak tegak. Secara telanjang ditorpedo oleh oligarki ekonomi dan politik. Hingga akhirnya nasionalisme ekonomi hanya lip services dan retorika kebijakan.
Karena nasionalisme ekonomi pudar, maka regulasi telah memberi ‘karpet merah’ kepada pemilik kuasa modal dan politik untuk berdaulat. Makna Pasal 33 UUD 1945 di mana kebijakan ekonomi tidak lagi ‘disusun’ sesuai makna konstitisi ekonomi nasional, tapi dibiarkan “tersusun” sendiri oleh mekanisme pasar. Secara imperatif, Negara menyusun, Negara mendesain sistem kelembagaan.
Mengutip Prof Sri Edy Swasono, Mukhtar menjelaskan, wujud “ketersusunan”, yaitu sebagai usaha bersama berdasar kepentingan bersama. Di situlah sejatinya letak arah dan orientasi demokrasi ekonomi yang terkubur di negeri ini atas nama regulasi yang bias pemilik kuasa modal dan politik.
“Abainya ekonomi nasional pada makna nasionalisme ekonomi, meniscayakan hilangnya arah ekonomi Indonesia. Sehingga, Indonesia tidak perlu lagi membangun arah ekonomi yang menjamin kemakmuran bersama, kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang. Tidak perlu lagi berorientasi menjamin hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Maka, ideologi ekonomi Pancasila pun otomatis dikubur,” tandasnya.
Bagaimana Muhammadiyah menyikapi problem ini? Ulasan selengkapnya baca di Majalah Matan edisi Agustus 2022. Info pemesanan memalui saudara Oki: +62 881-3109-662. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni