Pengertian Disiplin Positif
Lilik Subekti menyampaikan, disiplin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya). Ia mengatakan, mendisiplinkan berarti membuat berdisiplin, mengusahakan supaya menaati (mematuhi) tata tertib.
“Biasanya yang dilakukan Bapak/Ibu terhadap anak yang melanggar tata tertib atau kedisiplinan yaitu memarahi, membentak, menghukum, memberi sangsi,” ujarnya.
Menurut Jane Nelsen, lanjut Lilik, sejumlah riset menunjukkan hukuman dalam pendidikan bukan saja tidak berhasil mendisiplinkan siswa, tetapi juga menyisakan empat efek buruk yang disebut 4R.
Pertama, kebencian (resentment): “Ini nggak adil, saya benci ustadz!”. Kedua, pemberontakan (rebelion): “Saya akan melakukan yang sebaliknya, saya akan buktikan bahwa cara saya lebih benar daripada cara mereka!”.
Ketiga, balas dendam (revenge): “Ok, sekarang mereka menang, tapi lihat nanti pembalasanku!”. Keempat, reatreat (mundur), ada dua sikap, yaitu sembunyi-sembunyi: “Lain kali saya nggak akan ketahuan”; dan menghukum diri: “Saya memang nakal, saya memang nggak berguna!”.
Integrasi Disiplin Positif
Lilik juga menjelaskan cara mengintegrasikan disiplin positif dalam proses belajar di pesantren. “Jadikanlah proses mengajar dan membimbing santri di pesantren sebagai proses seni fasilitasi yang memampukan santri,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, mengembangkan proses membangun kesepakatan bersama sebagai norma berperilaku di kelas, di kamar, di area pesantren, serta refleksi pelaksanaan kesepakatan itu secara berkala. Kembangkan metode kolaboratif dari pada kompetisi.
“Bisa juga mengembangkan media pertemuan kelas secara berkala untuk membangun pemikiran dan perilaku positif. Serta memberikan kesempatan pada santri mengambil tanggung jawab,” tambahnya.
Terkait langkah penerapan disiplin positif di pesantren, Lilik mengatakan pentingnya penguatan komitmen bersama/dialogkan bersama dengan warga pesantren tentang pengenalan disiplin positif (sosialisasi/ rembug pesantren).
“Review aturan atau tata tertib pesantren, kembangkan mekanisme partisipatif bila ada yang harus direvisi dari aturan/tata tertib pesantren,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, penting juga mengembangkan mekanisme teknis berkaitan dengan penanganan santri berperilaku tidak tepat di pesantren dalam bentuk pendampingan dan konseling. “Efektifkan media kreativitas anak yang membangun pemikiran dan perilaku positif,” tegasnya.
Editor Ria Pusvita Sari