PWMU.CO – Seorang Muslim yang mengabaikan anak yatim, selain dinisbatkan sebagai pendusta agama, juga sebagai sikap yang abai terhadap kesejarahan Islam. Sebab, Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah Islam tercatat sebagai anak yatim yang berkutat dengan kemiskinan di masa kecilnya.
Demikian salah satu poin dari ceramah Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang, Ir Agus Purwadyo, di depan pimpinan Aisyiyah Kota Malang, Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) dan Majelis Kesehatan (MKes ). Dalam acara di Gedung Gedung Aisyiyah Kauman itu, ( 18/2), Agus Purwadyo, mengupas tuntas teologi al-Ma’un sebagai inspirasi jihad Muhammadiyah.
“Al-Maun dibuka dengan sebuah pertanyaan, lebih tepatnya sindiran: Tahukah engkau dengan para pendusta agama?,” jelas Agus mengawali materi. “Frase yang digunakan oleh Al-Qur’an terasa sangat menohok karena menggunakan istilah pendusta agama.”
(Baca juga: Selain Al Maun, Muhammadiyah Berkemajuan Membutuhkan Teologi Al Ashr)
“Kita tentu penasaran, siapakah mereka yang dihardik oleh Alquran dengan ungkapan pendusta agama itu?” jelas Wakil Ketua PDM bidang Pelayanan Sosial dan Lingkungan Hidup itu.
Dari berbagai ayat setelahnya, tambah Agus, amal fardiah itu memang penting. Seperti shalat, puasa, dzikir, wirid, dan lain-lainnya. Tapi, amal sosial misalnya mengatasi problematika sosial ekonomi juga tidak kalah penting. “Bahkan jika tidak peduli, maka dia termasuk pendusta agama.”
(Baca juga: Bantu Korban Banjir dengan Gembira: Cara Warga Muhammadiyah Amalkan Spirit Al Maun)
“Artinya, jika seseorang merasa benci dengan anak yatim karena keyatimannya, berarti dia mendustakan agama. Sebabnya, ialah rasa sombong dan rasa bakhil. Bahkan, menurut Buya HAMKA, membenci anak yatim berarti membenci keber-asal-an Nabi Muhammad. Sebab, Nabi adalah anak yatim yang berkutat dengan kemiskinan di masa kecilnya.”
Menurut Agus, Islam adalah agama yang sangat menghargai kesetaraan. Islam menolak stratifikasi sosial-ekonomis; yang berarti meminggirkan orang miskin dan anak yatim dalam sistem sosial yang bertingkat. Anak yatim adalah mereka yang malang; tak mampu mengelak dari takdir bahwa kasih-sayang yang ia terima akan jauh, disebabkan oleh ayah dan ibu mereka yang telah tiada.
(Baca juga: Ternyata, Bukan Antitradisi: Inilah Bukti 12 Tradisi yang Berkembang di Muhammadiyah)
“Ini menunjukkan pula bahwa Islam adalah bervisi kemanusiaan yang harus diterjemahkan dalam amal nyata,” tambah Agus. Mereka yang mengutamakan sifat individualis, berarti seseorang telah melanggar visi kemanusiaan dan juga pendusta agama.
“Agama bukan hanya bersifat vertikal, terkungkung di masjid. Agama ialah kemanusiaan yang membebaskan dan mencerahkan,” tambah Agus. Berdasarkan QS al-Maun, jelasnya, potret pendusta agama tergambar dari sikap kekhusyukan shalat di masjid yang tidak bisa dibawa keluar dalam bentuk amal shalih.
(Baca juga: Penjelasan Logis tentang Tradisi Muhammadiyah yang Tak Mengenal Darah Biru)
Atas dasar, salah satunya QS al-Maun itulah, Muhammadiyah mengambil garis strategi dakwah pelayanan sosial dengan mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui sistem yang terencana dan terpadu. “Untuk itu, wajib hukumnya bagi siapa saja yang bergabung ke Muhammadiyah untuk berjihad mengentaskan masalah sosial ekonomi ini.”
Ayo, bermujahadah dalam berbagai bidang kehidupan agar tidak terpotret sebagai pendusta agama. (uzlifah)