Muhammadiyah-Salafi: Mengapa Titik Pisah, Bukan Titik Temu? Liputan Kamas Tontowi, kontributor PWMU.CO Trenggalek.
PWMU.CO – Ketua PDM Batang, Jawa Tengah, Dr Ali Trigriyatno SAg MAg, menjelaskan mengapa judul bukunya memakai kata kata ‘titik pisah’, bukan ‘titik temu’.
Hal itu dia sampaikan dalam Pengajian Ahad Pagi yang digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Trenggalek,di Masjid Besar al-Hilal Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Ahad (7/8/2022). Lokasi pengajian adalah sebuah kawasan pantai selatan, perbatasan antara Trenggalek dan Pacitan.
Dosen IAIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan itu baru saja menerbitkan buku Titik Pisah Fikih Salafi–Muhammadiyah yang terdiri dari dua jilid. Dalam kedua jilid itu terdapat 30 titik pisah fikih antara Muhammadiyah dengan salafi.
Dia mengungkapkan, ditulis ‘titik pisah’ karena banyak persamaan dan sedikit perbedaan sehingga yang ditekankan adalah titik pisahnya.
“Kalau yang banyak perbedaan maka ditulis titik temu, seperti buku almarhum Prof Dr KH Musthofa Ali Yaqub Titik Temu Wahabi-NU. Ternyata ada persamaan antara Wahabi dan NU,” ungkapnya.
Tamu yang Berdampak
Menyinggung soal kelompok salafi, Ali Trigriyatno mrngatakan kelompok ini seperti tamu, yang meminjam tempat untuk mengadakan kajian. Menurutnya, sebenarnya hal itu bagi warga Muhammadiyah tidak masalah.
Terjadi masalah ketika mereka mengajarkan paham sendiri sedangkan warga Muhamadiyah sudah memiliki paham sendiri yang dikoordinasikan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. “Produknya adalah HPT (Himpunan Putusan Tarjih) dan Tanya Jawab Agama Islam,” ujarnya.
Dalam perkembangannnya, akhirnya mereka merecoki warga Muhammadiyah. Menurut Ali Trigriyatno dalam satu tempat tidak boleh ada perbedaan pemahaman karena akan membingungkan jamaah.
“Kebanyakan dari warga Muhammadiyah melihat sisi sisi persamaannya kurang melihat sisi sisi perbedaanya,” ujarnya.
Baca sambungan di halaman 2: Dampak Salafi pada Muhammadiyah