Tak Mau Dimuhammadiyahkan
Persoalan ketiga, sambung dosen UMP tersebut, adalah banyak ustadz dan ustadzah yang berasal dari luar Muhammadiyah dan perlu dimuhammadiyahkan.
“Dan itu (mudir dan ustadz berasal dari luar Muhammadiyah) adalah kenyataan. Kita jangan pura-pura tidak tahu. Karena itulah kenapa ada pesantren Muhammadiyah bubar,” terangnya. “Ini kan gara-gara mudir dan ustadz-ustadzahnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof Dailamy menyampaikan sebuah pesantren Muhammadiyah di sebuah daerah yang harus bubar karena dibawa oleh kiainya. Hal itu disebabkan karena pimpinan dan ustadznya membawa nama Muhammadiyah, tapi disuruh bermuhammadiyah tidak mau.
“Hal ini terjadi karena mudir dan ustadznya tidak mau dimuhammadiyahkan,” jelasnya.
Persoalan yang keempat: antara hasrat santri masuk pesantren dengan kemampuan pesantren menampung santri belum berbanding lurus.
Prof Dailamy menyampaikan banyak di antara pesantren Muhammadiyah yang menolak santri baru dengan alasan: ruangan belum mencukupi.
Persoalan kelima lanjutnya, adalah, biaya pondok pesantren yang dikeluhkan oleh beberapa wali santri, lantaran mahal.
“Saya hitung-hitung, SPP tiap bulan di pesantren Muhammadiyah ini bisa digunakan untuk kuliah di UMP selama empat semester,” paparnya. “Bagaimana tidak mahal, karena ini (pesantren Muhammadiyah) berkualitas baik,” imbuhnya.
Persoalan terakhir sambungnya adalahbeberapa pesantren Muhammadiyah belum menyiapkan kelas untuk dhu’afa. Padahal menurut Prof Dailamy mengutip hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa: Sesungguhnya kalian akan ditolong dan didoakan oleh orang-orang miskin.
“Maka saya mengusulkan, supaya di pesantren Muhammadiyah ada kelas dhuafa seperti di MBS Prambanan,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni