PWMU.CO – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nur Cholis Huda mengatakan, Muhammadiyah tidak pernah tinggal diam ketika melihat kondisi negara Indonesia yang memprihatinkan seperti saat ini, yakni ketergantungan yang tinggi pada negara-negara asing sehingga nyaris menghilangkan kemandirian dan kedaulatan bangsa.
“Kita sering mengingatkan mereka yang sedang memegang kekuasaan atau yang diberi amanah. Pak Haedar, bahkan Pak Din, sering menyampaikannya. Tetapi seakan tidak pernah ada yang memberi masukan,” kata dia.
(Baca: Tanwir Muhammadiyah di Ambon Akan Bahas Kedaulatan dan Keadilan Sosial)
Nur Cholis menyatakan itu dalam Seminar Pra Tanwir Muhammadiyah, di Ruang Sidang Senat Aula BAU UMM, Rabu (22/2) pagi. Tanwir Muhammadiyah akan dilaksanakan di Ambon Maluku, 26-28 Februari 2017. Tanwir yang merupakan lembaga musyawarah tertinggi Persyarikatan setelah Mukatamar akan mengangkat tema ‘Kedaulatan dan Keadilan Sosial Menuju Indonesia Berkemajuan’.
Untuk menggambarkan betapa Muhammadiyah sudah sering mengingatkan penguasa, Nur Cholis menyampaikan kisah anekdot tentang seorang pemuda yang hendak melamar anak seorang kyai, yang kemudian diberi syarat, “Kalau mau dengan anakku, kamu harus jadi imam,” kata Nur Cholis, menirukan kyai.
(Baca: 4 Alasan Tanwir Muhammadiyah 2017 Ditempatkan di Ambon)
Anak muda itu kemudian berusaha keras untuk bisa menjadi imam. Dia hapalkan Juz Amma. Maka setelah dia siap, ditemuilah sang kyai untuk memenuhi syarat sebagai calon mantunya. Tampilah dia jadi imam pada shalat berjamaah di Masjid Besar pesantren itu.
Supaya tidak malu, maka diberilah benang yang tersambung antara jempol kaki kyai itu dengan anak muda tersebut. Jika salah maka ditariklah benang supaya anak muda itu tahu bahwa dia salah dan segera memperbaiki bacaan.
(Baca juga: Temui Presiden Jokowi, Ini 3 Masalah Kebangsaan yang Disampaikan PP Pemuda Muhammadiyah)
Mulailah dia memimpin shalat jamaah maghrib dengan surat Alfatihah. Dia baca dengan merdu, mirip bacaan Imam Besar Mekah. Tibalah saat dia membaca surat… ‘koop’. Ditariklah benang itu karena seharunya bukan ‘koop’, tapi ‘qoof’. Karena ditarik, anak muda itu mengulang dengan ‘kuup’. Ditarik lagi benang itu maka meluncurlah kata ‘kiip’.
“Ini mirip kondisi kepemimpinan sekarang. Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah sering ‘menarik benang itu’ tetapi beliaunya sering salah menafsirkan,” kata Nur Cholis disambut gerr hadirin. “Di sinilah Tanwir di Ambon nanti akan mengambil posisi. Kita lebih eksplisit mengingatkan dalam konteks watawasabilhaq watawasaubissabr.” (Uzlifah)