Masjid Milik Allah
Kedua, salafi selalu menyatakan bahwa masjid adalah milik Allah. Konsep inilah yang diyakini sehingga mereka tidak pernah merasa berdosa merebut masjid saudaranya.
Biasanya kalau saya ditanya ini maka jawaban saya cukup ekstrim dengan bertanya balik. Memangnya kapan Allah menurunkan semen, batu, genteng, besi, dari langit untuk mendirikan masjid?
Allah menurunkan syariat berupa hukum sosiologi bahwa meskipun masjid adalah baitullahtetapi dibangun oleh manusia. Ada yang bertanggung jawab, dan di manapun demikian, bahkan Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam juga ada yang bertanggungjawab, tidak semua orang berhak mengatur seenaknya atas nama milik tuhan.
Sedangkan Ali Trigiyatno dalam guyonannya menyatakan bahwa semua yang ada dibumi dan langit adalah milik Allah, apa dengan begitu semua orang bisa seenaknya mengambilnya?
Tentu orang yang mengerti syariat tidak bersikap demikian. Coba saja beberapa masjid yang direbut, dikuasai, kemudian dimiliki salafi itu dipinjam untuk tahlilan dan yasinan, apa boleh? Mereka pasti akan bilang itu adalah masjid kami.
“Bandingkan dengan kelakuan kelompok salafi yang hanya mengakui kebenaran pada dirinya sendiri.”
Ketiga, agama kita Islam bukan ormas. Serangan ini cukup gencar dan saya sebut brutal. Kenapa? Tidak ada satu pun warga Muhammadiyah yang menganggap organisasi sebagai agama. Kengawuran mereka ini menunjukkan kekurangan mereka dalam menggunakan akal tadi.
Lucunya yang begini ini banyak komentar dari para pengikutnya. Semua ormas Islam sangat menyadari bahwa organisasi adalah wasilah untuk memajukan dakwah. Sebuah Gerakan yang dijamin dalam syariat bahwa Allah lebih mencintai perjuangan yang tersusun rapi. Artinya yang berorganisasi dalam menggerakkan dakwah lebih disukai Allah, dari pada yang hanya sporadis dan tidak terorganisasi dengan baik.
Keempat, jangan fanatik. Sering sekali kita dengar para pengikuti salafi bilang jangan fanatik terhadap organisasi, bahkan beberapa menyatakan kasihan kepada warga Muhammadiyah karena terlalu tunduk pada keputusan-keputusan pimpinan pusatnya.
Muhammadiyah menghendaki warganya cerdas, tidak menjadi muqallid apa lagi taqlid buta, tetapi paling tidak secara umum menjadi mutabbi’, pengikut yang cerdas, karena setiap keputusan Muhammadiyah dibahas dengan ijtihad jamai sebagai sebuah organisasi, disosialisasikan dengan baik, dan menerima kritik serta masukan.
Bandingkan dengan kelakuan kelompok salafi yang hanya mengakui kebenaran pada dirinya sendiri. Enggan mendengarkan pendapat lain.
Kelima, ustadz syubhat. Salafi sering menyebut para dai Muhammadiyah dengan sebutan ustadz syubhat yang harus dihindari. Begitu sombongnya mereka menyematkan sebuah sebutan bagi ormas yang mempersilakan mereka beribadah di masjid-masjidnya.
Perilaku sombong inilah yang harus dilawan. Makanya tidak heran jika mereka hanya mau shalat di masjid Muhammadiyah dan tidak mau mengikuti kajian para ustadz Muhammadiyah. Salafi hanya mau mengikuti kajian sesama salafi, lalu siapa yang lebih fanatik? Ekslusivitas kelompok inilah yang sebenarnya membuat perpecahan, mengannggap kelompoknya lebih benar dari kelompok lain.
Baca sambungandi halaman 4: Muhammadiyah Dituduh Bid’ah