Tentukan Angle
Di tengah peserta berbagi ide menulis esainya, Rita juga menyinggung soal pemilihan angle atau sudut pandang. Menurutnya, tidak sekadar menulis hal umum tapi perlu cari angle yang pas saat menulis esai.
Dia memberi alternatif beberapa angle menarik yang bisa ditulis terkait fenomena anak. Seperti penelantaran anak, eksploitasi ekonomi, dan pekerja anak yang peraturannya masih ‘soft‘. Angle lain yang menarik yakni tentang pergaulan anak di daerah yang sangat kaya tapi sejatinya miskin.
Yang tak kalah menarik, ada ide kader IMM Universitas Muhammadiyah Kendari Sri Maulani. “Mungkin tentang isu anak atau lingkungan khususnya di pesisir,” ujarnya.
Menurut Rita isu pesisir menarik karena Indonesia seolah hanya tentang Jawa. “Padahal pesisir punya problem luar biasa. Misalnya Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, itu daerah kaya tapi stuntingnya sangat tinggi!” ungkapnya.
Saking miskinnya, sambungnya, ikan itu tidak dimakan tapi dijual. “Pengasuhan di lingkungan nelayan juga berbeda, kan,” contohnya.
Terakhir, menurutnya, esai menarik bisa berupa tulisan yang garis merahnya diperbincangkan publik. Sebab, yang tren itu tidak hanya yang viral.
“Misal cuma ngomong aktivitas IMM rapat sampai malam kan nggak masuk. Tapi kita bisa bahas kesehatan aktivis, kan kita tahu banyak aktivis meninggal muda,” tambahnya.
Tentukan Outline
Rita lantas membagikan bagaimana menentukan outline (kerangka) saya menulis esai. Ada yang dari umum ke khusus, umum-khusus-umum, dan khusus ke umum. “Ini untuk menentukan prioritas!” tegasnya.
Biasanya, dia membuat mind mapping, baru menentukan urutan. Kemudian, memperkirakan outline dengan jumlah kata dan pembagiannya. “Kompas itu biasanya minta seribu kata, itu teman-teman harus punya perkiraan,” imbaunya.
Misalnya dalam membahas kekerasan seksual di perguruan tinggi. “Fenomenanya seperti apa? Datanya seperti apa? Karena menurut saya fenomenanya banyak, datanya tinggi, tapi masih ada fenomena gunung es,” ujarnya.
Kemudian bicara regulasi, lanjutnya, sebenarnya cukup kuat. “Kalau semuanya ada, oh ini berarti kulturnya yang salah. Saya menawarkan membangun kesadaran sebagai sebuah kultur,” contohnya. Pelatihan itu kian menarik ketika dia mengajak peserta praktik membuat mind mapping. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni