PWMU.CO – Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin mengajak Muhammadiyah untuk menekankan sikap dialogis dalam menyikapi perbedaan yang muncul di kalangan umat Islam. Karena hal itu menyangkut perbedaan tafsir pada Kitab Suci. Din menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Pra Tanwir Muhammadiyah di Auditorium BAU UMM, Rabu (22/2).
(Berita terkait: Kekhawatiran Din Syamsuddin Akan Lahirnya Perang Dunia Ketiga dan Din Syamsuddin: Sebagai Kelompok Tengahan, Muhammadiyah Harus Konsisten Lakukan Pendekatan Dialogis)
Din mengatakan, dalam pemahaman atau pemikiran keagamaan, walaupun merujuk pada Kitab Suci tetapi dia berkembang bukan di arena vakum atau ruang hampa. “Ini terkait dengan situasi kondisi tertentu. Ada realitas sosial, bahkan ekonomi, politik, dan sebagainya. Itu ikut memengaruhi pemikiran dan pemahaman terhadap pesan-pesan agama,” tegasnya.
Menurutnya, Kitab Suci, termasuk Alquran, memiliki watak ambivalen (mendua). “Ayat-ayatnya bisa ditafsirkan. Dan ayat-ayat itu ada yang cenderung bisa dipahami sebagai cenderung ‘positif’ dan ada ayat-ayat yang bisa dipahami sebagai cenderung ‘negatif’. Ini kesan. Ini menimbulkan kesan ambivalensi,” ungkapnya.
(Berita terkait Ini Kata Din Syamsuddin tentang Gerakan-Gerakan Keagamaan Transnasional dan Din Syamsuddin: Monopoli yang Mendominasi dan Mendikte adalah Akar Ketidakadilan yang Bahayakan Keseimbangan Nasional)
Dia memberi contoh ada ayat-ayat Alquran yang mengajak kepada perdamaian. Tapi banyak juga ayat-ayat Alquran yang memerintah peperangan.
“Umpamanya ada ayat-ayat Alquran yang mengajak kepada perdamaian. Banyak sekali. Sampai kepada penegasan misi Islam sebagai penyebar rahmatan lil alami. Tapi banyak juga ayat-ayat Alquran yang, dalam pemahaman kaum beriman, umat Islam, seperti memerintah peperangan, lawan dari perdamaian tadi itu,” jelas Din.
(Baca juga: Penjelasan Din Syamsuddin Kenapa Muhammadiyah Jarang Adakan Kegiatan Pengumpulan Massa dan Din Syamsuddin: Jangan Ada Imam Lain di Muhammadiyah Selain Ketua Umum PP)
“Dari sini saja kan sangat mungkin muncul perbedaan pendapat. Dan sangat tergantung kepada aksentuasi dari masing-masing. Lebih menekankan pesan pada dimensinya yang, lembut, soft, atau pada dimensi yang terkesan bersifat hard, keras,” tuturnya.
Ambivalensi semacam ini, tekan Din, muncul pada tingkat kesan. Tapi sejatinya tidak demikian. “Ini kemudian menjelma dalam bentuk perbedaan pendapat. Dan apalagi jika ditambah dengan situasi dan kondisi, realitas yang dihadapi,” ujarnya. (Uzlifah)