PWMU.CO– Catatan kemerdekaan di masa pemerintahan Jokowi disampaikan oleh Mahsun Djayadi, Direktur Ma’had Umar bin Khattab dalam Ngaji Reboan Spesial Agustusan yang berlangsung di Masjid at-Taqwa Simorejo III PCM Sukomanunggal Surabaya, Rabu (17/8/2022) bakda Isya.
Mahsun Djayadi menerangkan, di masa kepemimpinan Presiden Jokowi perbaikan infrastruktur dominan. Tetapi problem lain kehidupan berbangsa juga mencuat.
Dia mencatat ada empat problem bangsa yang belum sesuai dengan cita-cita Reformasi. Pertama, sistem politik yang belum memenuhi hajat dan amanat reformasi. Misalnya peraturan Presidential Threshold 20%.
Masalah politik lainnya, sambung dia, adalah munculnya peraturan Pilkada yang kurang komprehensif sehingga berpotensi memunculkan politik dinasti.
”Artinya, demokratisasi yang diharapkan semakin baik, malah memunculkan ketidakpuasan tersembunyi,” ujar dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Paling buruk yang tidak diharapkan dalam Reformasi itu terciptakanya politik transaksional. Fenomena ini, kata Mahsun, mengantarkan siapa saja yang berduit akan menjadi pejabat publik di legislatif maupun eksekutif. Kader-kader bangsa yang berkualitas harus nyengir sebagai penonton setia perjalanan pemerintah yang sedang berkuasa.
Kedua, utang luar negeri yang semakin menggunung. Utang itu lazim terjadi di negara manapun di dunia ini. Tetapi kalau utang Indonesia sudah sangat tinggi sangat mengkhawatirkan.
”Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar 406,3 miliar dolar AS atau Rp 6.094,5 triliun dengan kurs Rp 15.000/USD,” katanya.
Realisasi ini, sambung dia, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 410,1 miliar dolar AS.
”Ini tanda-tanda yang mengerikan karena orang harus berhitung kesanggupan negara ini mencicil utang yang begitu tinggi. Sementara sumber daya alam semakin terkuras bahkan segera habis di tahun 2045. Ini menjadi keprihatinan sekaligus catatan penting kondisi bangsa di era pasca reformasi,” katanya.
Ketiga, efek negatif politik identitas yang memunculkan Islamofobia di Indonesia berpotensi sebagai bom waktu bagi kemungkinan hilangnya rasa memiliki negeri ini. Semakin terpecah belahnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakan, islamofobia ditandai antara lain persekusi dan kriminalisasi ulama dan tokoh masyarakat yang dianggap bersebrangan dengan penguasa. RUU pendidikan yang menghilangkan frasa agama telah memantik kemarahan banyak pihak terutama umat Islam.
Keempat, bonus demografi. Sebuah fenomena saat penduduk usia produktif jumlahnya sangat banyak. Indonesia menjadi negara yang kini memiliki bonus demografi atau ledakan penduduk. Pasalnya jumlah penduduk usia produktif lebih tinggi dibandingkan usia non produktif.
Fenomena ini, ujar dia, terjadi mulai tahun 2021 dan berakhir pada tahun 2035. Program antisipasi keadaan pasca 2035 belum tergambar sama sekali. Bahkan belum terpikir oleh elite politik di negeri ini.
”Politik pencitraan sudah seharusnya bergeser kepada politik gagasan yakni penawaran program-program menuju Indonesia ke depan yang kemudian dibedah dan diberi masukan oleh para ahli, para akademisi, sehingga menjadi program yang rasional dan aplikatif,” katanya.
Penulis Jahja Sholehuddin Editor Sugeng Purwanto