Jiwa-Jiwa Merdeka, Bercermin pada Empat Tokoh Islam Ini ; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis, 2022.
PWMU.CO – Kata merdeka di kamus punya tiga makna. Dua makna di antaranya, pertama, merdeka adalah “Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa”. Kedua, merdeka adalah “Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri” (https://kbbi.web.id/merdeka, akses 17 Agustus 2022).
Agar kita punya pemahaman sekaligus bisa mempraktikkan apa itu merdeka, mari belajar kepada para teladan. Kita buka sejarah. Kita ambil pesan-pesan tak tertulis dari mereka yang telah teruji memiliki jiwa merdeka.
Terkait hal ini, kita memang harus terus ikuti petunjuk Allah untuk selalu belajar kepada sejarah. Perhatikan ayat ini: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. ….” (Yusuf: 111). Resapi pula ayat ini: “.… Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (al-Hasyr: 2).
Tjokroaminoto Tidak Bergantung kepada Orang
HOS Tjokroaminoto (1882-1934) adalah Pahlawan Nasional. Maka, menarik saat membaca bagaimana dia tumbuh-kembang. Bahwa, saat anak-anak, dia diasuh di lingkungan pesantren. Benar, dia sosok santri. Kemudian bersekolah ke “Sekolah Belanda” yang memakai sistem Barat.
Tjokroaminoto tumbuh sebagai pribadi pemberani. Dia juga pembicara ulung dan cakap menulis. Pun, dia kharismatik dan populer.
Belakangan dia aktif di Syarikat Dagang Islam, organisasi yang berdiri pada 1905. Lalu, dalam perkembangannya, di tangan Tjokroaminoto Syarikat Dagang Islam mengubah namanya menjadi Syarikat Islam pada 10 September 1912.
Syarikat Islam adalah kumpulan umat Islam yang hendak mengilmui Islam sekaligus menegakkan Islam. Tercatat, terutama lewat Syarikat Islam, Tjokroaminoto aktif berjuang untuk Islam dan Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, perjuangannya bernilai sangat tinggi. “H.O.S. Tjokroaminoto adalah Peletak Dasar Perubahan Sosial Politik di Indonesia,” kata sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara (1998: h. 190).
Apa di antara keseharian Tjokroaminoto yang menonjol? Cermatilah fragmen berikut ini.
Alkisah, untuk kali pertama, Mohammad Natsir (1908-1993) bertemu dengan Tjokroaminoto di stasiun kereta api Bandung. Kala itu, Tjokroaminoto—sang “Raja tanpa Mahkota” itu—sedang dalam rangkaian kegiatan silaturrahim ke daerah-daerah. Cabang-cabang Syarikat Islam di Bandung dan sekitarnya termasuk yang dikunjunginya.
Sebagai aktivis Syarikat Islam, Natsir turut menjemput kedatangan Tjokroaminoto. Di stasiun, begitu bertemu, Natsir segera menangkap pemandangan yang sangat istimewa, karena tergolong tidak biasa. Terlihat, Tjokroaminoto turun dari kereta api sambil menenteng velbed (tempat tidur yang bisa dilipat).
“Mengapa Tuan membawa velbed,” tanya Natsir dengan lugas segera sesudah berkenalan.
“Saya tidak mau menjadi beban orang yang saya datangi. Dengan velbed ini saya bisa menginap di manapun, di masjid atau di manapun,” jelas Tjokroamninoto sambil tersenyum dan menatap wajah Natsir (Lukman Hakiem di Pratiknya 2019: h. xiii-xiv).
Dengan sikapnya itu, Tjokroaminoto telah memperagakan bahwa dirinya adalah manusia merdeka yaitu “Tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu” serta bisa “berdiri sendiri”.
Baca sambungan di halaman 2: KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari Leluasa