Buta aksara moral bangsa Indonesia menurut Din Syamsuddin; Liputan Mahyuddin, kontributor PWMU.CO dari Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Buta aksara moral, sebuah permasalahan yang harus dihadapi Indonesia di kemerdekaannya yang ke-77 tahun. Hal tersebut disampaikan Prof Dr Din Syamsuddin, saat menjadi pembicara dalam Kajian Ahad Pagi Muhammadiyah Daerah Sidoarjo, Ahad (28/8/22).
Kegiatan ini rutin dihelat di Masjid An-Nur Sidoarjo, Komplek Perguruan Muhammadiyah Jalan Mojopahit No 666B Sidoarjo. Acara berlangsung dari pukul 06.00-08.00, kali ini mengangkat tema “Dengan Kemerdekaan Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta”.
Prof Dr Din Syamsuddin menyampaikan, tema kajian pagi ini terkesan ideal dan nyaris utopis. “Tema acara memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta terkesan ideal, nyaris utopis, sesuatu yang sangat susah untuk kita wujudkan ,” ujarnya.
Tapi itulah Muhammadiyah, kata Din, yang ingin memberi solusi, sesuai yang dikatakan Ketua Pimpindan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo (Zainul Muslimin) tadi. “Harus bersifat solutif karena organisasi Islam harus menjadi problem solver, penyelesaian masalah-masalah bangsa, demikian sejatinya. Jangan umat Islam ini menjadi bagian dari masalah, part of the problem,” jelasnya.
Prof Dr Din Syamsuddin mencontohkan ketika ada program mengentaskan kemiskinan, ternyata keluarga prasejahtera mayoritas umat Islam. Itu berarti umat Islam menjadi bagian dari masalah. “Apalagi umat Islam menjadi pencipta masalah, problem maker, yang membuat kacau kehidupan bersama ini, tidak, harus menjadi problem solver. Muhammadiyah lahir untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia,” paparnya.
Bahaya Buta Aksara Moral
Menurut Din, masalah Indonesia yang berbahaya saat ini yaitu buta aksara moral. Bangsa dan negara kita yang sudah 77 tahun merdeka, tapi keadaannya ada yang menyebut istilah tidak baik-baik saja, ada masalah di tubuh bangsa ini.
Din beberapa hari lalu menyampaikan Indonesia sedang mengalami kerusakan yang bersifat akut, kerusakan yang bersifat kronis. “Ada kerusakan di atas pada struktur kehidupan negara kita, ada tingkat kerusakan pada tingkat culture, budaya dari masyarakat, terutama masalah yang berbahaya dari Indonesia sekarang ini yaitu merajalelanya buta aksara moral,” terang Din Syamsuddin .
Ketua PP Muhammadiyah dua periode itu menjelaskan, merajalelanya buta aksara moral ini sangat berbahaya. Lebih berbahaya dibandingkan buta aksara huruf latin, yang tidak sekolah lebih mudah untuk dientaskan. Juga lebih berbahaya dari buat aksara huruf hijaiyah.
“Buta aksara moral berbahaya, karena menghinggapi orang-orang yang terpelajar, orang-orang yang sudah mendapat gelar S1, S2, S3, bahkan professor. Bahkan orang-orang yang berpangkat, brigadir, brigjen, irjen, komjen, jenderal, mereka berpangkat tinggi, mereka berpendidikan tinggi, tetapi tidak mampu membaca huruf-huruf moral, yang terjadi dipanggil KPK. Miris kemarin ada seorang rektor perguruan tinggi negeri, yang tidak perlu saya sebut siapa dan di mana, ternyata ditangkap oleh KPK,” kata Din.
Jauh Panggang dari Api
Lebih lanjut dia juga menanngapi terkait drama di televisi. Sebelumnya juga sudah ada yang lain, ternyata dia berpangkat tinggi, yang bertanggung jawab menegakkan hukum melanggar hukum itu sendiri dan tidak tanggung-tanggung luar biasa dramanya di televisi.
“Ini kita semua jadi analisis-analis. Tapi kasus ini bukan kasus sederhana, saya mengamati ini puncak gunung es, pernah lihat gunung es? Gunung es waktu di kutub itu yang muncul di permukaan sedikit, puncaknya saja, di atas permukaan air laut, di dalamnya itu lebih dahsyat, inilah kerusakan moral yang melanda bangsa ini,” urai Din.
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, Jakarta Selatan ini menyatakan, cita-cita proklamasi itu jauh dari kenyataan, jika dibandingkan dengan kehidupan bangsa dewasa ini, jauh panggang dari api.
“Terjadi kerusakan terutama ada buta aksara moral yang melanda orang-orang terpelajar, orang-orang terdidik. Inilah akibat sistem kehidupan kenegaraan yang sudah melenceng dari Pancasila, dari Undang-Undang Dasar 1945, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa,” tegasnya. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.