Kisah Pengorbanan Dua Sahabat Nabi oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan.
PWMU.CO– Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Yastrib, sahabatnya banyak yang mendapatkan kendala. Mereka diintimidasi, diancam, dikejar, dan dihadang. Harta bendanya pun diambil oleh orang-orang kafir Quraisy.
Tidak sedikit di antara sahabat yang disiksa dan terluka. Namun bagi sahabat yang telah termuliakan hidupnya oleh Islam dan tersucikan jiwanya oleh iman semua itu merupakan pengorbanan dalam perjuangan yang harus diterima dengan tulus ikhlas dan berserah diri kepada Allah.
Pengorbanan untuk Allah dan RasulNya jauh lebih bernilai dan berharga dibanding harta. Mereka meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, binatang ternak, dan kerabat. Mereka berhijrah agar dapat mereguk nikmatnya iman dan melaksanakan ibadah kepada Allah swt dengan leluasa tanpa larangan.
Dalam Sirah Nabawiyahnya tulisan Fir’adi Nasruddin Abu Ja’far menceritakan kisah pengorbanan para sahabat Nabi yang berhijrah. Satu per satu meninggalkan Mekkah. Dengan terang-terangan maupun sembunyi.
Sahabat Shuhaib ar-Rumy
Kisah pengorbanan pertama adalah sahabat Shuhaib ar-Rumy ra. Shuhaib berangkat dengan membawa seluruh hartanya. Namun orang-orang kafir Quraisy datang menghadang di tengah perjalanan.
Mereka berkata,”Shuhaib, bukankah dulu kamu datang kepada kami dalam keadaan terhina, miskin, dan pailit. Sekarang kaya raya lagi terhormat. Hartamu dan pengikutmu banyak. Sekarang kamu hendak keluar meninggalkan Makkah dengan hartamu begitu saja? Tidak! Enak saja. Kamu tidak boleh melakukannya!.”
Shuhaib dengan tenang menjawab, ”Apakah aku boleh pergi setelah meninggalkan hartaku untuk kalian?”
Mereka menjawab,”Tentu saja boleh.”
Shuhaibpun memberikan semua harta miliknya kepada mereka. Lalu melanjutkan perjalanan hijrahnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, Shuhaib berkata kepada kafir Quraisy ketika mencegat dirinya.
”Maukah kalian aku beri beberapa ons (auqiyah) emas, lalu kalian membiarkan aku pergi?”
Mereka pun setuju. Maka Shuhaib berkata kepada mereka,”Galilah (tanah) depan pintu rumahku. Di sana terdapat beberapa ons emas.” Setelah memberitahu itu dia bisa pergi menyusul Rasulullah saw di Qubâ.
Ketika Rasulullah melihatku lalu bersabda,”Wahai Abu Yahya, ini adalah keuntungan perniagaan yang besar.”
Kemudian Nabi membaca ayat ini
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya. (Al-Baqarah: 207)
Kisah Ummu Salamah ra
Kisah sahabat lainnya keluarga Ummu Salamah ra. Dia menuturkan perjalanan hijrahnya. Ketika suamiku Abu Salamah bermaksud hijrah ke Yastrib, dia membawaku dan menaikkan aku ke untanya. Aku mendekap Salamah anak kami.
Kami baru saja hendak berangkat ketika tiba-tiba datang rombongan dari Bani al-Mughirah. Mereka berkata: ”Kami membolehkan kamu, hai Abu Salamah, tetapi tidak dengan membawa anak kami (Ummu Salamah).”
Lalu datanglah rombongan dari Bani Abdul Asad dan berteriak,”Hai Abu Salamah, kami izinkan engkau pergi, tapi tinggalkan putra kami (Salamah) di sini.”
Sesaat Bani Abdul Asad mengambil paksa Salamah dari pelukan ibunya, Ummu Salamah. Sementara Bani al-Mughirah mengambil paksa Ummu Salamah. Abu Salamah tidak mampu berbuat apa apa. Istri dan anaknya direnggut paksa darinya dengan kasar.
Dia pun pasrah. Namun tetap bertekad melanjutkan perjalanan hijrahnya meskipun tanpa ditemani istri dan putranya.
Ummu Salamah kesepian tapi merasa bahagia dengan iman. Bila waktu petang tiba ia pergi ke tempat kejadian sewaktu dia dan keluarganya dipisahkan kaumnya. Ia bersedih. Matanya berkaca-kaca.
Kenangan bersama keluarga dan orang-orang terkasihnya memburaikan air matanya. Dalam iman kesedihan tetap terasa, tetapi hati merasa tenang dan bahagia. Lalu dia kembali ke rumahnya dengan air mata yang terus menetes. Hal ini berlangsung kurang lebih selama satu tahun.
Hingga suatu hari, anak pamannya melintas di depannya. Ia iba mendengar ratapan Ummu Salamah. Kemudian dia negoisasi kepada kedua kabilah yang menahannya supaya Ummu Salamah dan anaknya diizinkan hijrah menyusul suaminya.
Anak pamannya datang kepada Bani Al Mughirah berkata: ”Tidakkah kalian melepaskan wanita malang ini? Kalian telah memisahkannya dengan anak dan suaminya.”
Bani al-Mughîrah akhirnya luluh. Mereka setuju lalu dan mengizinkannya menyusul suaminya.
Kerabatnya Bani al-Asad juga mengembalikan anaknya. Kemudian dia menyiapkan unta. Lalu berangkat menuju Yastrib berdua dengan anaknya.
Sampai di daerah Tan’im, Ummu Salamah berjumpa dengan Utsmân bin Thalhah yang bersedia mengantarkannya sampai di Yastrib. Saat melihat perkampungan Bani Amr bin Aud di Quba’, dia berkata:
”Suamimu berada di kampung ini. Masuklah dengan barakah dari Allah.” Kemudian Utsmân bin Thalhah kembali ke Makkah. Ummu Salamah bisa berkumpul lagi dengan suaminya.
Kisah dua sahabat di atas mengingatkan saya kepada pesan Kiai Saad Ibrahim. Dalam ceramahnya, Ketua PWM Jatim ini selalu mengingatkan: Apa yang kita lakukan ini, mengurusi dan memperjuangkan muhammadiyah, belum seberapa dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya.
Editor Sugeng Purwanto