Memetik Hikmah Kisah Al-Qamah di Living Quran; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – “Tahukah kalian siapa yang ketika mau meninggal hampir mau dibakar?” tanya Koordinator Kelas I dan II SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Jawa Timur, Khofifatur Rohmah SPdI saat mengajak siswa belajar dari kisah al-Qamah di program Living Quran.
Tampaklah ekspresi berpikir sekaligus penasaran di wajah-wajah siswa kelas I dan II itu di Averroes Hall SD Mugeb, Jumat (2/9/22) pagi. Beberapa detik kemudian, salah satu siswa yang duduk di barisan depan berceletuk, “Orang Hindu!”
Teman-teman sekitarnya pun spontan semangat mengiyakan. Mereka mengira yang ustadzahnya maksud ialah ngaben. Yakni upacara prosesi pembakaran mayat atau kremasi yang dilakukan umat Hindu di Bali.
Merespon antusiasme mereka, Ifah–sapaannya–menerangkan, “Lho itu kalau sudah meninggal, baru jenazahnya dibakar. Ini sebelum meninggal, baru mau meninggal, jenazahnya hendak dibakar. Ada yang tahu?”
Karena para siswa kompak menjawab tidak tahu, Ifah langsung mengenalkan al-Qamah, sahabat Nabi yang rajin ibadah tapi menjelang kematiannya sulit mengucap ‘Laa ilaaha illa Allah’. Dia pun mengajak siswa menonton film pendek tentang kisah al-Qamah lalu memetik hikmah darinya.
Tampillah di layar, seorang pria kesakitan tak berdaya di atas tempat tidur. Al-Qamah tidak bisa meninggal. Istrinya menangis tersedu-sedu di sisinya.
Sahabat pun lapor pada Rasulullah. Ketika Rasululllah mengetahui ibu al-Qamah masih hidup, Rasulullah meminta seorang sahabat membawa sang ibu menemuinya.
Hati Ibu Tersakiti
Saat sahabat itu datang ke rumah ibu al-Qamah, ibu al-Qamah awalnya menolak datang. “Tidak! Aku tidak sudi datang ke rumah al-Qamah,” ujarnya.
“Apakah engkau tidak kasihan?” bujuk sahabat itu, tapi ibunya tetap menyatakan, “Aku tidak peduli!”
Setelah dibujuk dan diberi tahu itu seruan Rasulullah, ibunya mau memenuhi panggilan Rasulullah. “Kenapa engkau sampai membenci al-Qamah?” tanya Rasulullah.
“Karena dia sudah menyakiti hatiku. Dia sebenarnya sayang tapi berubah sejak menikah. Dia terlalu memperhatikan istrinya,” ungkap ibunya.
Ibu masih ingat ketika Al-Qamah menghadiahkan baju kepadanya. Tapi dia tak sengaja salah memberikan baju indah yang sebenarnya untuk istrinya. Al-Qamah pun jujur mengatakan itu bukan untuknya. Lalu memberinya hadiah baju yang lusuh.
Kemudian, saat ibunya berkunjung ke rumah Al-Qamah dan ingin mencicipi kue di meja, Al-Qamah tidak membolehkannya. Sebab dia membelikan kue itu untuk istrinya. Dia meminta sang ibu menunggu sampai istrinya pulang dan mengizinkannya. Padahal, saat itu ibunya sudah bilang sedang lapar sekali.
Refleksi
Setelahnya, Ifah mengulas jalan cerita yang telah mereka tonton. Dia menegaskan, al-Qamah anak yang rajin shalat tapi ketika dia mau meninggal, tidak bisa. “Saat nyawanya mau dicabut, kakinya bergetar, dari ujung kaki sampai kepala sakit sekali. Kenapa dia tidak bisa meninggal?” tanyanya.
Dia lantas menerangkan kalau al-Qamah anak durhaka, sudah menyakiti hati ibunya. Dia pun mengajak siswa mengingat apakah mereka pernah menyakiti hati sang ibu. Misalnya dengan membentak, marah-marah, membantah, suka jahil, tidak mau dinasihati, atau berkata tak sopan.
Kembali ke cerita al-Qamah, Ifah mengingatkan, ketika ibunya sudah tersakiti, dia tidak mau memaafkan. Bahkan awalnya ibu membiarkan al-Qamah tidak bisa meninggal.
“Ketika ada orangtua yang disakiti hatinya maka pintu rahmat Allah juga akan ditutup. Tidak akan menjadi anak sukses, tidak menjadi anak shalih!” imbuh Ifah.
Tapi hati sang ibu mulai luluh saat mendengar perkataan nabi Muhammad, “Kalau ibu tidak bisa memaafkan, al-Qamah akan saya bakar!” Menurut Nabi, sakit karena dibakar di dunia itu tak seberapa jika dibandingkan dengan sakit ketika disiksa di neraka kelak.
Ibunya menangis, lalu memohon, “Jangan nabi! Aku tidak tega melihatnya. Aku akan memaafkannya.” Kemudian, setelah dicek, al-Qamah bisa meninggal. Kata Ifah, begitulah kekuatan ridha dan kasih sayang orangtua kepada anak.
Siap Jadi Anak Shalih
Kata Ifah, ini sesuai pesan pada al-Israa ayat 23.
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعۡبُدُوۡۤا اِلَّاۤ اِيَّاهُ وَبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا ؕ اِمَّا يَـبۡلُغَنَّ عِنۡدَكَ الۡكِبَرَ اَحَدُهُمَاۤ اَوۡ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَاۤ اُفٍّ وَّلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوۡلًا كَرِيۡمًا
Artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.”
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
“Siapa yang mau sukses? Jadi dokter? Insinyur? Guru?” tanya Ifah disambut angkat tangan para siswa. “Syaratnya satu, harus patuh kepada orangtua!” tegasnya.
“Siapa yang siap berkata dan berbuat baik kepada orangtua? Siap jadi anak shalih?” tanya Ifah lagi dan lagi-lagi disambut semangat siswa mengangkat tangan sambil menjawab, “Siap!”
Ifah pun menekankan, orangtua mereka tidak hanya ayah-ibu atau mama-papa di rumah. “Ada ustad-ustadzah di sekolah, nenek-kakek juga orangtua,” ungkapnya di sekolah penggerak tahap I itu. (*)