Hukum Memakai Cadar Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah; Kajian oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Cadar adalah masalah klasik yang akhir-akhir ini muncul kembali seiring dengan meningkatnya budaya penegasan identitas, trend keagamaan, dan fashion. Cadar sering ditemukan pada kelompok Islam puritan yang berideologi Wahabi. Secara fikih ulama mahzab juga mengajarkan pemakaian cadar bagi wanita Muslimah.
Mahzab Imam Ahmad bin Hambal dengan tegas mewajibkan cadar bagi Muslimah. Mazhab Hanafi menghukumi sunnah yang dianjurkan.
Pada mazhab Maliki ada dua pendapat. Sebagian mewajibkan cadar bagi Muslimah kecuali dalam kondisi darurat. Dan sebagian lain hanya menganjurkan atau hukumnya sunsah. Namun menjadi wajib jika sang wanita memiliki paras yang cantik.
Sedangkan mazhab syafi’i mewajibkan muslimah mengenakan cadar di depan pria nonmahram.
Muhammadiyah tentang Cadar
Sementara itu di kalangan Muhammadiyah pembahasan tentang cadar telah dicantumkan dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam Jilid 4 halaman 238, bab Sekitar Masalah Wanita.Buku ini diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid.
Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …,’ ‘kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’”.
Menurut penafsiran jumhur ulama, yang boleh tampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana pendapat Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA (Tafsir Ibnu KatsirVol VI: 51). Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Aisyah RA:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بنُ كَعْبٍ الأَنْطَاكِيُّ وَ مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالاَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . قَالَ أَبُو دَاوُدُ هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا . [رواه أَبُو دَاوُدَ]
“Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah SAW berpaling darinya dan berkata: ‘Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini’ beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR Abu Dawud).
Hadits ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama kritikus Hadits.
Namun ia mempunyai penguat yang ternilai mursal shahih dari jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (No 460, cet. Dar al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَارٍ ثَنَا أَبُو دَاوُدُ ثَنَا هِشَامُ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إنَّ اْلجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تََصْلُحْ أن يُرَي مِنْهَا إِلاوَجْهِهَا وَيَدَاهَا إِلَى اْلمَفْصِلِ. [رواه أبو داود]
“Telah menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi)’.” (HR. Abu Dawud)
Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378) dan al-Ausath(2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4/283).
Selain itu banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka.
Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi SAW di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).
Pakaian Shalat Muslimah
Terkait dengan pakaian perempuan ketika shalat, sebuah riwayat dari Aisyah RA menjelaskan ketika shalat para perempuan pada zaman Nabi SAW memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna).
حَدَّثَنَا أَبُو اْليَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الفَجْرَ فيََشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ مُتَلِّفِعَاتٍ في مُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَرجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ. وَفِى رِوَايَةٍ أَخَرٍ: لاَ يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ. [متفق عليه]
“Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku Urwah bahwasannya Aisyah berkata: ‘Pada suatu ketika Rasulullah SAW shalat Subuh, beberapa perempuan Mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi SAW). Mereka shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak seorang pun yang mengenal mereka.’ Dalam riwayat lain: ‘Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.’ (Muttafaq ‘alaihi)
Imam asy-Syaukani memahami hadits ini bahwa para sahabat perempuan di antaranya Aisyah RA tidak dapat mengenali satu sama lain sepulang dari shalat Subuh karena memang keadaan masih gelap dan bukan karena memakai cadar, karena memang saat itu wajah para perempuan biasa terbuka.
Tidak memakai cadar tidaklah termasuk ingkar sunnah, karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah mereka orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Sementara pada masalah ini tetap berpegang pada hadits dengan pemahaman yang berbeda yang disebut dengan ikhtilaf. Muhammadiyah mempersilakan Muslimah memakai cadar atau tidak sepanjang tetap menutup aurat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni