Bolehkah Fanatik terhadap Madzhab dan Kiai? Kajian oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Muhammadiyah sering dituduh antimadzhab, sementara kelompok lain seolah mewajibkan bermadzhab. Sikap ini sering memunculkan fanatik yang berlebihan, baik yang menolak atau yang mengikuti. Begitu pula keyakinan dan kepercayaan terhadap tokoh panutan, seperti kiai, ustadz, tokoh masyarakat, ketua adat dan lain-lain.
Ada yang mengikuti secara membabibuta terhadap tokoh idola, bahkan terkesan kultus individu bahwa semua yang keluar dari tokoh panutan selalu benar sehingga terkadang mengabaikan objektivitas. Ada juga yang kurang menghargai tokoh yang seharusnya menjadi panutan. Karenanya perlu mendudukkan persoalan fanatisme madzhab dan tokoh ini secara jelas.
Arti Fanatik
Ada dua kata yang perlu diterangkan artinya dalam hal ini, yaitu kata ‘fanatik’ dan kata ‘madzhab’. Pertama, kata fanatik. Pada kamus umum bahasa Indonesia susunan Poerwodarminto terbitan Balai Pustaka tahun 1976 halaman 280, diterangkan bahwa arti fanatik ialah teramat sangat kuat kepercayaan (keyakinan) seseorang terhadap suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya.
Keyakian atau kepercayaan yang sangat kuat itu biasanya menimbulkan kepicikan dalam berpikir, sehingga kurang atau bahkan kadang-kadang tidak lagi menggunakan akal dan budi dalam mengikuti suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya.
Biasanya kefanatikan itu menimbulkan pengkultusan terhadap sesuatu benda, tempat, kelompok, golongan, keturunan, atau terhadap seseorang tertentu, seakan-akan yang dikultuskan itu adalah keramat, sakti, dan melebihi manusia biasa. Menganggap apa yang diucapkan dan dilakukan adalah kebenaran yang harus diikuti tanpa bertanya dasarnya. Bahkan bisa jadi kecintaan dan ketaatan terhadap tokoh ini melebihi kecintaan dan ketaatan terhadap rasul.
Fanatik yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah memerintahkan kaum Muslimin agar selalu menggunakan akal dalam memahami segala sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 190-191).
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita agar menggunakan akal dan pikiran. Orang yang suka menggunakan akal dalam memikirkan sesuatu adalah orang yang suka tafakur. Yakni menghasilkan ilmu dan kecerdasan, sedang fanatik menghasilkan kebodohan. Hal ini dipahami dari hadis :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا { متفق عليه }
“Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, berkata : Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi ilmu itu tercabut dengan matinya para ulama. Sehingga apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh, maka apabila ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Abu Bakar RA berkata: “Ikutilah aku selama aku mengikuti Allah. Apabila aku durhaka kepada Allah tidak ada lagi kewajibanmu mengikutiku”. Para Imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, semua berfatwa yang isinya menyatakan bahwa ikutilah pendapat mereka selama pendapat mereka itu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Arti Madzhab
Kedua ialah kata madzhab. Kata madzhab berasal dari kata dzahaba, yadzhibu, dzahaban, dzuhuban, dan madzhaban, yang berarti pergi berjalan, berlalu, bahkan kadang-kadang berarti mati, sesuai dengan konteks dan pemakaiannya dalam suatu kalimat.
Kemudian para ahli fikih menjadikan kata ‘madzhab’ sebagai kata istilah yang berarti pendapat seorang mujtahid. Kemudian pendapat itu diikuti oleh orang banyak atau suatu kelompok orang, karena mereka percaya kepada kebenaran pendapat itu.
Dalam perjalanan sejarah ada kelompok orang yang tetap berpegang kepada arti madzhabyang sebenarnya, yaitu mengikuti pendapat mujtahid yang dipercayainya itu. Selama belum ada dalil yang lebih kuat yang dapat merubah pendapat itu. Jika ada dalil yang lebih kuat maka meninggalkan pendapat itu. Dan ada pula kelompok orang yang tidak lagi mengikuti pendapat tersebut keseluruhannya, tetapi mereka tetap menamakan kelompok mereka dan membangsakan diri kepada imam madzhab tersebut.
Pada masa Rasulullah SAW, masa khulafaurrasyidin, masa tabi’in, masa tabi’it tabi’in, masa atba’ut tabi’in, masa imam-imam mujtahid belum dikenal kata madzhab yang diartikan seperti arti yang sekarang. Kata madzhab dikenal dengan arti yang sekarang mulai pada abad keempat Hijriyah (Munawar Khalil, 1956).
Pada waktu itu pemerintah Bani Abbas dalam keadaan lemah, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaannya, seperti pemerintahan bani Saman di Turkistan, pemerintahan Bani Fathimiy di Afrika Utara, pemerintahan Buwaihi yang menguasai daerah Irak dan sebagainya. Pemerintahan Bani Abbas yang lemah ini mendapat serangan dari bangsa Tartar yang dipimpin Hulagu Khan, maka jatuhlah Kota Baghdad ke tangan mereka (656 H), dan Khalifah al-Mu’tashm dibunuh.
Maka timbullah kemunduran di dunia Islam dalam segala bidang. Di kalangan para ulama timbul pendapat bahwa mulai dari generasi mereka sampai akhir zaman nanti tidak akan muncul lagi para mujtahid sebagaimana para mujtahid yang hidup pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, seperti Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Asy-Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan lain-lain. Karena itu mereka berpendapat cukup mengikuti pendapat para imam mujtahid itu yang telah dibukukan oleh murid-murid mereka.
Sejak itu para murid dan pengikut seorang imam mujtahid membanggakan dan mengagungkan imam-imam mereka masing-masing, seakan-akan imam mereka lebih dari imam yang lain. Pengikut-pengikut dan murid-murid imam mujtahid itulah yang mendirikan madzhab sekalipun dalam pikiran imam mujtahid yang diagungkan mereka itu semasa hidupnya tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dijadikan imam suatu ‘madzhab’ (Muhammad Abu Zahrah, 1956).
Bila dilihat sejarah kehidupan para imam mujtahid itu dan murid-muridnya, mereka hanya beda pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun mereka saling menghormati pendapat-pendapat itu. Begitu pula dalam kehidupan, mereka saling tolong-menolong. Abu Hanifah, Ja’far ash-Shadiq, Malik bin Anas berteman, bergaul bersama dan saling berdiskusi pada Madrasah Ahlul Bait di Madinah. Asy-Syafi’i, seorang pemuda yang cerdas di Mekah, tetapi miskin, oleh walikota Mekah dititipkan pada Malik bin Anas di Madinah. Maka Asy-Syafi’i tinggal dan belajar di rumah Malik bin Anas selama 9 tahun.
Asy-Syafi’i pernah diselamatkan dari hukuman pancung oleh Abu Yusuf (murid Abu Hanifah dan ketua Mahkamah Agung Khalifah Bani Abbas waktu itu). Kemudian Asy-Syafi’i tinggal di rumah Abu Yusuf dan berguru kepadanya. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia beliau berguru kepada Muhammad Hasan Asy-Syaibani, murid Abu Hanifah dan teman Abu Yusuf. Pada perguruan Muhammad bin Hasan inilah Asy-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, dan terjalinlah hubungan yang erat antara keduanya.
Ahmad bin Hanbal memperkirakan bahwa tidak lama lagi Makmun akan diangkat memjadi khalifah. Sebagai seorang mu’tazilah, ia akan menangkap lawan-lawan politiknya termasuk golongan ahli sunnah. Karena itu Ahmad bin Hanbal menganjurkan kepada Asy-Syafi’i agar segera meninggalkan Kufah, dan sebaiknya pergi ke Mesir. Anjuran ini diterima oleh Asy-Syafi’i dan beliau pergi ke Mesir dan tinggal di rumah teman Ahmad bin Hanbal. Asy-Syafi’i memberi gelar Abu Hanifah dengan “‘Iyaalu ahlil fiqh” (cikal bakal ahli fiqh), sebagai tanda betapa tingginya penghargaan Asy-Syafi’i kepada Abu Hanifah. Dikatakan bahwa pendapat Asy-Syafi’i merupakan sintesa dari pendapat Abu Hanifah dan pendapat Malik.
Ittiba’
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fanatik kepada suatu madzhab itu tidak diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidak menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kiai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah kita wajib meninggalkannya.
Sementara itu terkait ketaatan kepada sosok kiai, ustadz, atau tokoh kharismatik maka tergantung pada apa yang diikuti. Menurut ajaran Islam bahwa kita wajib taat dan patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Tunduk dan patuh kepada Allah, tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an.
Sedang tunduk dan patuh kepada Rasulullah berarti kita melaksanakan perkataan, perbuatan, dan taqrir-nya yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih dan maqbul. Yang dimaksud dengan taqrir Nabi SAW ialah perkataan dan perbuatan sahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah tidak memberikan reaksi (tidak membenarkan dan tidak menyalahkan) terhadapnya.
Seabagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW itu mulai dibukukan pada permulaan abad kedua Hijriyah dan berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyah. Hal ini berarti bahwa selama lebih dari satu abad sunnah itu berada dalam hafalan sahabat, kemudian diajarkan dan dihafal oleh tabi’in.
Kemudian tabi’it tabi’in mempelajari dan menghafal setelah menerima dari tabi’in. Hal yang demikian dilakukan pula oleh atba’ut tabi’it tabi’in sampai kepada perawi dan perawi membukukannya. Dengan demikian as-Sunnah sampai dibukukan terjadi alih hafal sekurang-kurangnya lima generasi, yaitu generasi saahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, generasi atba’ut tabi’it tabi’in dan generasi perawi.
Harus disadari bahwa manusia itu tidak sama kemampuannya dan tidak sama pula nilainya. Ada yang pintar, ada yang kurang, ada yang banyak ilmunya ada yang kurang, ada yang dapat dipercaya, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat hafalannya, ada yang kurang kuat dan sebagainya.
Perbedaan tingkatan kemampuan dan nilai para sanad hadits ini menimbulkan perbedaan penilaian terhadap hadits yang sampai kepada kita. Karena itulah sebelum suatu hadis diamalkan perlu diteliti lebih dahulu, apakah hadis itu shahih sanadnya dan dapat diterima dengan arti tidak berlawanan dengan nash yang lebih kuat daripadanya.
Untuk meneliti sanad dan matan suatu hadis dapat dilakukan kaum Muslimin pada masa kini, karena telah tersedia buku-buku yang menerangkan riwayat hidup orang-orang yang menjadi sanad suatu hadis. Demikian pula tentang matan hadis dapat diuji dengan nash yang lebih kuat daripadanya, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah diakui kesahihan dan kemaqbulannya. Banyak nash yang dapat dijadikan dasar bahwa kita wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, ialah Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ .
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’”. (Ali Imran: 311-32).
Baca juga al-Qur’an surat an-Nisa’: 59 ; al-Maidah: 92 ; al-Anfal: 20 ; an-Nuur: 54 dan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang senada dengan ayat di atas serta mengancam dengan siksa setiap orang yang tidak mengikuti perintah tersebut. Dan hadis Rasulullah SAW:
عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إَلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ محمَّدا رَسُوْل الله. وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصومِ رَمَضَانَ { متفق عليه }
“Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: ‘Islam itu ditegakkan (di atas) lima perkara ; meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa bulan Ranadhan.’” (Muttafaqun alaih).
Meyakini Rasulullah SAW sebagai salah satu fundamen Islam, maksudnya mengikuti dan taat melaksanakan yang termaktub pada sunnahnya. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kita hanya wajib taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sedang dalam masalah duniawi kita boleh mengikuti kiai, ustadz, tokoh atau ulil amri(pemerintah) selama pemerintah itu tidak menyimpang dari ajaran dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59).
Hal ini juga berarti bahwa kita boleh saja mengikuti siapa saja termasuk kiai kharismatik selama ia berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah dan al-maqbulah. Selain itu kekaguman kita terhadap kiyai kharismatik hendaklah meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT.
Fanatisme buta kepada tokoh kharismatik akan memunculkan kultus individu yang akan merugikan keberlangsungan Islam. Intinya secara substansi sebenarnya yang kita ikuti adalah ajarannya, sementara kepada pribadi penyampai ajaran perinsipnya adalah penghormatan dan kasih sayang. Kultus individu melahirkan fanatisme buta, sedangkan tidak menghormati ulama yang lurus berarti suul adab atau nir akhlak. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni