BBM Naik, Nasib Nelayan Kian Terjepit oleh Ali Efendi,Sekretaris Rukun Nelayan Paciran Lamongan 2014-2019.
PWMU.CO– Perahu nelayan sepanjang pesisir Lamongan dan Tuban belakangan ini banyak yang tertambat di pantai. Jarang melaut sejak ambruknya harga rajungan. Menjaring rajungan saat ini tak memberi semangat.
Petaka itu bertambah lagi ketika harga BBM naik. Jumlah perahu yang tertambat di kampung nelayan makin rapat jaraknya. Sekarang biaya operasional melaut tak sepadan dengan penjualan hasil tangkapan.
Harga rajungan ambruk sejak bulan Juni. Hingga September 2022 ini belum kembali ke harga semula. Saat ini berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp 35.000 per kilogram. Padahal harga sebelumnya Rp 95.000 sampai dengan Rp 124.000 per kilogram yang membuat nelayan bersemangat melaut.
Harga rajungan anjlok katanya karena ekspor macet akibat perang Ukraina. Entah berkaitan atau tidak, yang jelas nasib nelayan rajungan sekarang yang terjepit di antara harga jual dengan harga beli Bahan Bakar Minyak sekarang ini yang tidak seimbang. Nelayan kecil tidak mungkin melaut berulang kali karena hasil melaut pasti merugi.
Kenaikan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 ibarat sudah jatuh ditimpa tangga bagi nelayan tradisional Lamongan dan Tuban. Benar-benar terjepit yang sakit.
Harga BBM belum naik, nelayan kecil sudah susah membelinya. Sebab untuk membeli solar buat diesel perahu harus mengurus surat rekomendasi ke Pemda. Waktu datang ke SPBU dengan surat keterangan resmi, membawa KTP, kartu tanda nelayan, serta surat keterangan spesifikasi peralatan yang digunakan, seringkali ditolak oleh pegawai SPBU dengan bermacam alasan.
Berita Sindonews.com (24/6/2022) membenarkan kondisi kesulitan para nelayan mendapatkan BBM ini. Menurut media itu, 69 persen nelayan kecil kesulitan membeli BBM subsidi dan 78 persen kesulitan memperoleh surat rekomendasi.
Menghadapi Risiko Alam
Secara sosiologis, karakteristik nelayan berbeda dengan masyarakat petani dalam menghadapi sumber daya yang dihadapi. Nelayan menghadapi sumber daya dan akses yang bersifat terbuka. Untuk menangkap hasil laut yang maksimal harus berpindah-pindah karena laut tidak bisa diolah sebagaimana lahan pertanian.
Nelayan kecil atau nelayan tradisional (peasant-fisher) nelayan yang mengunakan teknologi penangkapan sederhana, umumnya peralatan penangkapan ikan dioperasikan secara manual dengan tenaga manusia, kemampuan jelajah operasional terbatas pada perairan pantai.
Nelayan kecil dalam melakukan operasi tangkapan ikan ke laut dengan segala keterbatasan, mulai dari kapal kecil, Anak Buah Kapal (ABK) sendirian atau maksimal tiga nelayan, serta peralatan tangkap terbatas sampai jangkauan wilayah tangkapan yang terbatas.
Kondisi sumber daya yang berisiko menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas, mudah bergaul, supel dan terbuka. Di samping itu, problematika yang dihadapi nelayan sangat kompleks, misalnya: masalah kemiskinan, perkampungan kumuh, pendidikan tertinggal, terpinggirkan, konsumerisme, dan stigma negatif lainnya.
Nelayan kecil menanggung segala risiko setiap hari berangkat untuk mengarungi lautan tanpa dilengkapi peralatan keamanan diri sesuai dengan standar K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Butuh Solusi Alternatif
Problem nelayan kecil ini sangat berat. Butuh solusi konkret yang tak berbelit. Ketergantungan nelayah kecil terhadap laut sangat tinggi sehingga terkadang lupa ada masalah lain yang dihadapi di luar perhitungannya. Maka program pemberdayaan bagi istri dan anak nelayan kecil sangat urgen. Tawaran program yang diberikan bisa berupa pendidikan dan pelatihan keterampilan usaha perikanan atau pengolahan hasil laut, serta cara pemasarannya.
Contoh program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang bergulir di lingkungan nelayan kecil perlu untuk dihidupkan kembali, tentu dengan berbagai catatan dan evaluasi agar program PEMP yang akan rencanakan hasilnya lebih baik dan berkelanjutan.
PEMP bukan sekadar program pencitraan pejabat publik dan proyek belaka, tetapi benar-benar program berbasis berberdayaan keluarga nelayan.
Nelayan kecil menunggu uluran tangan pahlawan kekinian untuk memberi dan mendampingi program alternatif pemberdayaan. Di level grasrooots, mestinya Rukun Nelayan (RN) tampil di garda terdepan bersinergi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) untuk turut memperjuangkan masalah yang dihadapi nelayan kecil saat ini.
Tentu saja dua organisasi yang bergerak di sektor nelayan harus membangun jaringan dengan Dinas Perikanan Kabupaten/Pemerintah Daerah atau berjejaring dengan anggota DPRD dalam memanfaatkan anggaran jaring aspirasi masyarakat untuk pemberdayaan. Dengan program pemberdayaan yang diberikan setidaknya menjadi obat mengatasi masalah yang dihadapi nelayan kecil. Lebih-lebih saat harga BBM naik seperti sekarang ini. (*)
Editor Sugeng Purwanto