Film Miracle In Cell No 7 Sindiran Praktik Hukum di Negeri Ini oleh Muhammad Fajar Al Amin Guru SD Muhammadiyah 1 Jember.
PWMU.CO– Film Miracle in Cell No.7 yang mulai tayang di bioskop 8 September lalu menduduki posisi nomor 10 dengan jumlah penonton 1.150.346 untuk film nasional. Itu mengutip akun Instagram @bioskop. Cukup laris begitu cepat dibanding dengan beberapa film nasional lain yang sepi penonton.
Film ini merupakan adaptasi dari film Korea dengan judul yang sama Miracle in Cell No.7 yang rilis 23 Januari 2013 lalu. Sutradara Hanung Bramantyo mengadaptasinya menurut versi kehidupan sosial di Indonesia.
Film yang diproduksi oleh Falcon Pictures ini dibintangi oleh Indro Warkop, Tora Sudiro, Denny Sumargo, Bryan Domani. Pemain utama Vino G Bastian berperan sebagai Dodo Rozak, seorang ayah, penjual balon yang keterbelakangan mental. Dia hidup bersama putrinya, Kartika, dimainkan Graciella Abigail sewaktu kecil. Peran ketika dewasa digantikan Mawar de Jongh.
Kebahagiaan ayah penjual balon dan anaknya ini suatu hari dirampas oleh musibah. Dodo Rozak dituduh memperkosa dan membunuh gadis kecil.
Film berdurasi 145 menit ini fokus pada perlakuan tidak adil pada nasib terdakwa Dodo Rozak yang divonis penjara seumur hidup. Dia dimasukkan penjara sel nomor 7. Penjara yang memisahkan kehidupan ayah dan anak ini dieksplorasi untuk mengaduk-aduk hati dan pikiran penonton.
Kerinduan ayah dan anak lalu mendapatkan bantuan dari orang-orang yang bersimpati dengan menyelundupkan Kartika ke sel ayahnya. Pada akhirnya ada perjuangan hukum untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya untuk membebaskan Dodo Rozak.
Salah Tangkap
Kasus salah tangkap seperti dikisahkan dalam film itu dalam praktik di dunia hukum kita sudah beberapa kali terjadi. Kasus yang paling populer Sengkon dan Karta, petani Desa Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Dua orang itu dituduh merampok dan membunuh tetangganya pada tahun 1974.
Saat pemeriksaan polisi, keduanya disiksa supaya mengaku. Akhirnya divonis bersalah oleh hakim tahun 1977. Dalam penjara bertemu narapidana yang mengaku sebagai pembunuhnya.
Pengacara Albert Hasibuan membantu keduanya untuk bebas dengan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) tahun 1980 atas saran Mahkamah Agung Omar Seno Adji. Setelah bebas tahun 1981, Sengkon dan Karta menuntut ganti rugi ke negara namun ditolak hingga keduanya meninggal dunia.
Kasus lainnya, Ucok ditangkap oleh Unit Jatantras Polda Metro Jaya pada Juli 2013 lalu. Dia dituduh membunuh sesama pengamen bermotif berebut wilayah mengamen. Ia ditangkap dan dipaksa mengaku. Lewat proses yang panjang penuh siksaan Ucok akhirnya tak terbukti bersalah. Korban ternyata bukan pengamen seperti yang dituduhkan.
Mahkamah Agung membebaskan Ucok lewat putusan nomor 131 PK/Pid.Sus/2016 (liputan6.com), setelah mendekam dalam penjara selama tiga tahun atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya.
Lebih ironis kasus Mohammad Irfan Bahri di tahun 2020. Remaja asal Madura itu menjadi tersangka karena membela diri atas kejahatan begal. Dalam perkelahian begal itu terbunuh. Untung ada Menko Polhukam Mahfud MD turun tangan terhadap kasus ini sehingga polisi membebaskannya.
Tahun 2008 juga ada kasus heboh. Polsek Bandar Kedung Mulyo Jombang menangkap Kemat Cs atas tuduhan membunuh Asrori alias Luki alias Aldo yang mayatnya ditemukan membusuk di kebun tebu Desa Braan. Peristiwa pembunuhan terjadi pada 29 September 2007.
Kemat Cs disiksa dipaksa mengaku membunuh oleh penyidik. Kemudian terungkap pembunuhnya adalah Rudi Hartono alias Rangga dan Joni Irwanto. Dari pengakuan keduanya terungkap juga bahwa mayat yang membusuk di kebun tebu adalah Fauzin Suyanto bukan Asrori. Polisi salah identifikasi mayat.
Orang yang bernama Asrori ternyata dibunuh oleh jagal dari Jombang, Verry Idham Henyansyah, yang mayatnya ditanam di halaman belakang rumahnya. Kemas Cs akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung (MA) setelah mendekam dalam tahanan dan siksaan.
Berulang-ulang
Dari kasus-kasus salah tangkap ini polisi mencoreng muka sendiri. Ternyata kejadian terus terulang. Pada akhirnya kebobrokan polisi terungkap sendiri lewat kasus besar pembunuhan Brigadir Yosua oleh atasannya Ferdy Sambo, Kepala Divisi Propam Polri yang akhirnya dipecat.
Rekayasa menutup pembunuhan melibatkan puluhan polisi dari pangkat bhayangkara hingga jenderal yang menghebohkan negeri ini. Dari peristiwa ini orang pun menuntut kasus pembunuhan enam laskar FPI dibuka lagi karena diduga melibatkan orang-orang Satgassus Merah Putih pimpinan Ferdy Sambo.
Orang juga teringat kasus rekayasa persidangan pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan diyakini adalah petinggi polisi.
Tugas polisi adalah mengayomi dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Kalau ternyata aparat hukum sendiri sebagai penjahatnya lantas bisakah masyarakat aman dari kejahatan? Semoga saja polisi jahat hanya ada di film India.
Editor Sugeng Purwanto